Sunday, May 20, 2007


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.


الوجيز في منهج السلف
للشيخ: عبد القادر الأرناؤوط

AL-WAJIZ FI MANHAJIS SALAF
(KERINGKASAN DI DALAM MANHAJ SALAF)

Oleh : asy-Syaikh Abdul Qodir al-Arna'uth -Rahimahullahu-


Definisi al-Wajiz secara etimologi :

Jika dikatakan : أوجز الكلام berarti memendekkan dan menjadikannya sedikit, yaitu اختصره (meringkasnya), dan kalimatnya pendek dan ringkas. الوَجْز : Perkataan dan perkara yang ringan dan sederhana. Serta الوَجْز : sesuatu yang ringkas seperti al-Wajiz.

Definisi al-Manhaj secara etimologi dan terminologi :

النهج، والمنهج، والمنهاجartinya adalah : jalan yang nyata dan terang. Allah Ta'ala berfirman di dalam Kitab-Nya al-Aziz :

لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا

yang artinya : "Untuk tiap-tiap ummat diantara kamu, kami berikan syariat dan manhaj" (al-Maidah : 48), yaitu : Syariat dan jalan yang terang lagi jelas.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan bagi tiap-tiap ummat syariat dan manhaj, Ahli Taurat memiliki syariat sendiri, Ahli Injil memiliki syariat sendiri demikian pula dengan Ahli al-Qur'an. Mereka memiliki syariat-syariat yang berbeda di dalam masalah hukum namun bersepakat di dalam masalah Tauhid (mengesakan) Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

أنا أولى الناس بعيسى بن مريم في الدنيا والآخرة، الأنبياء إخوة لعلاّت، أمهاتهم شتى، ودينهم واحد، وليس بيني وبين عيسى نبي

yang artinya : "Aku adalah manusia yang lebih utama dibandingkan Isa bin Maryam di dunia dan akhirat, para nabi seluruhnya bersaudara sebapak, namun ibu-ibu mereka berbeda-beda, agama mereka adalah satu serta tidak ada nabi antara diriku dengan Isa." Hadits Riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, Kitabul Anbiya', bab 'wadzkur fil Kitaabi Maryaam' dan Muslim di dalam shahih-nya nomor 2365 dalam kitab al-Fadla'il, bab 'Fadlu Isa 'alaihi as-Salam' dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

Artinya yaitu, mereka semua bersepakat di dalam pokok tauhid kepada Allah Azza wa Jalla, adapun masalah furu' (cabang-cabang) syariat, di dalamnya terdapat perbedaan dan syariat-syariat mereka beraneka ragam. Allah Ta'ala berfirman kepada nabi-Nya di dalam Kitabnya yang mulia :

وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون

yang artinya : "Dan tidaklah kami utus para nabi sebelummu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Aku maka sembahlah Aku." (al-Anbiyaa' : 25), dan firman-Nya :

ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت

yang artinya : "Dan sungguh telah kami utus seorang rasul pada setiap ummat untuk menyeru agar menyembah Allah semata dan menjauhi thaghut." (an-Nahl : 36). Ini semua di dalam mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, adapun syariatnya berbeda-beda perintah dan larangannya.

Definisi Salaf secara etimologi dan terminologi :

As-Salafالسلف memiliki arti : ما مضى وتقدم (yang telah berlalu dan terdahulu). Jika dikatakan سلف الشيء سَلَفا : artinya adalah مضى (yang telah lewat), jika dikatakan سلف فلان سلفا artinya adalah المتقدم (yang telah berlalu/terdahulu), dan as-Salif السالف berarti : المتقدم (pendahulu). Sedangkan as-Salaf bermakna : الجماعة المتقدمون (sekumpulan orang yang terdahulu).

Salaf juga berarti : القوم المتقدمون في السير (orang-orang yang mendahului di dalam perjalanan hidup). Allah Ta'ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang Aziz :

فلما آسفونا انتقمنا منهم فأغرقناهم أجمعين، فجعلناهم سلفا ومثلا للآخرين

yang artinya : "Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami hukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya, dan kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian." (az-Zukhruf : 55-56),

yang maknanya : Tatkala mereka menyebabkan kami marah maka kami hukum mereka dan kami tenggelamkan mereka semuanya, dan kami jadikan mereka sebagai salafan mutaqodiimiin (contoh orang-orang terdahulu) bagi orang-orang yang melakukan perbuatan mereka, agar orang-orang setelah mereka dapat mengambil pelajaran dan menjadikan mereka sebagai peringatan bagi lainnya.

Salaf juga berarti : كل عمل صالح قدّمته (Setiap amal shalih yang terdahulu), jika dikatakan : قد سلف له عمل صالح amal shalihnya telah berlalu. Dan salaf adalah من تقدمك من آبائك وذوي قرابتك الذين هم فوقك في السن والفضل orang-orang yang mendahuluimu dari bapak-bapakmu dan kaum kerabatmu yang mereka di atasmu dalam hal usia dan keutamaan, seorang dari mereka disebut سالف saalifun.

Seperti perkataan Thufail al-Ghonawi yang meratapi kaumnya :

مضوا سلفا قصد السبيل عليهم
وصرف المنايا بالرجال تقلّب

Pendahulu kita telah lewat dan kitapun akan mengikuti mereka
Kita akan menjadi sepertinya terhadap orang-orang setelah kita

Yaitu, kita akan mati sebagaimana mereka mati, dan kita akan menjadi salaf (pendahulu) bagi orang-orang setelah kita sebagaimana mereka menjadi salaf bagi kita.

Dari al-Hasan al-Bashri, beliau berdo'a di dalam sholat Jenazah terhadap anak kecil : اللهم اجعله لنا سلفا "Ya Allah jadikanlah dia salaf bagi kami." Oleh karena itulah, generasi pertama dinamakan dengan as-Salaf ash-Sholih.

Rasulullah, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka adalah salaful ummah (pendahulu ummat), dan siapa saja yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka juga salaful ummah. Serta siapa saja yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka mereka berada di atas manhaj as-Salaf ash-Sholih. Maka wajib bagi setiap muslim untuk ittiba' (mengikuti) al-Qur'an al-Karim dan as-Sunnah al-Muthoharoh dengan mengembalikannya kepada pemahaman as-Salaf ash-Shalih ridlwanullahu 'alaihim ajma'in, karena mereka adalah kaum yang lebih berhak untuk ditiru/diikuti, karena mereka adalah orang-orang yang paling benar keimanannya, yang kuat aqidahnya dan yang paling ikhlash ibadahnya.

Imamnya as-Salaf ash-Shalih adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang mana Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk mengikuti beliau di dalam Kitab-Nya dengan firman-Nya :

وما آتاكم الرسول فخذوه، وما نهاكم عنه فانتهوا

yang artinya : "Apa yang diberikan Rasul padamu maka ambillah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". (al-Hasyr : 7).

Beliau adalah Uswah Hasanah (suri tauladan yang baik) dan Qudwah Shalihah (suri tauladan yang shalih), Allah Ta'ala berfirman :

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا

yang artinya : "Telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari akhir dan dia banyak menyebut Allah." (al-Ahzab : 21).

Beliau adalah orang yang berbicara dengan wahyu dari langit, Allah Ta'ala berfirman :

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى

yang artinya : "Dia tidaklah berbicara dari hawa nafsu melainkan dengan wahyu yang diwahyukan padanya" (an-Najm : 3-4).

Allah Ta'ala juga memerintahkan kita untuk menjadikan diri beliau sebagai hakim di dalam segala perkara hidup kita, firman-Nya :

فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما

yang artinya : "Maka demi Tuhanmu, sesungguhnya pada hakikatnya mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim terhadap perselsihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat di dalam hati dan mereka menerima dengan pasrah." (an-Nisa' : 65).

Allah Ta'ala juga memperingatkan kita supaya tidak menyelisihinya dengan firman-Nya :

فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم

yang artinya : "Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpakan adzab yang pedih." (an-Nuur : 63).

Adapun referensi para salaf shalih ketika berselisih adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Allah Ta'ala berfirman :

فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا

yang artinya : "Jika kalian berselisih tentang segala sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya." (an-Nisa' : 59)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam adalah penyampai risalah dari Rab-nya dan pemberi penjelasan bagi Kitab-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزّل إليهم

yang artinya : "Dan kami turunkan al-Qur'an kepadamu, supaya engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka." (an-Nahl : 44).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، عضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل بدعة ضلالة

yang artinya : "Maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, gigitlah dengan gigi gerahammu, dan jauhilah olehmu perkara-perkara yang baru, karena setiap bid'ah itu sesat."

Seutama-utama salaf setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam adalah para sahabat, yang mereka mengambil agama mereka langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan kejujuran dan keikhlasan, sebagaimana Allah mensifati mereka di dalam kitab-Nya dengan firman-Nya :

من المؤمنين رجال صدقوا ما عاهدوا الله عليه فمنهم من قضى نحبه ومنهم من ينتظر وما بدلوا تبديلا

yang artinya : "Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur dan ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya." (al-Ahzab : 23)

Mereka adalah orang yang mengamalkan perbuatan kebajikan sebagaimana yang Allah Ta'ala sebutkan di dalam Kitab-Nya dalam firman-Nya :

ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيين، وآتى المال على حبه ذوي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفي الرقاب وأقام الصلاة وآتى الزكاة والموفون بعهدهم إذا عاهدوا والصابرين في البأساء والضراء وحين البأس أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون

yang artinya : "Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janji apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bena imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. " (al-Baqoroh : 177).

Ayat ini adalah ayat tadayyun yang menunjukkan cara beragama yang benar yang para sahabat radhiyallahu 'anhum mensifatkannya. Kitabullah adalah dustur (undang-undang) dan nizham (peraturan) mereka, kemudian setelah itu as-Sunnah, yang merupakan ilmu yang paling berkah, yang paling utama dan paling banyak manfaatnya baik di dunia dan akhirat setelah Kitabullah Azza wa Jalla. As-Sunnah bagaikan taman-taman dan kebun-kebun, yang kau dapatkan di dalamnya kebaikan dan kebajikan. Kemudian setelah as-Sunnah adalah apa yang disepakati atasnya (ijma') salaful ummah dan para imam mereka.

As-Salaf ash-Shalih juga merupakan generasi (kurun) terbaik yang paling utama sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam haditsnya :

خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

yang artinya : "Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya." Dan sabdanya :

ثم يكون بعدهم قوم يشهدون ولا يستشهدون، ويخونون ولا يُؤتمنون، وينذرون ولا يوفون، ويظهر فيهم السـِّمَنُ

yang artinya : "Kemudian akan datang suatu kaum setelah mereka bersaksi namun tidak diminta kesaksiannya, mereka berkhianat dan tidak dipercaya, mereka bernadzar namun tak pernah memenuhinya, dan tampak kegemukan pada mereka."

Ushuluddin (Pokok agama) yang dipegang teguh oleh para imam agama, ulama islam dan salaf shalih yang terdahulu, dan menyeru manusia kepadanya, adalah : mereka mengimani al-Kitab dan as-Sunnah secara global (ijmal) dan terperinci (tafshil), mereka bersaksi akan keesaan (wahdaniyah) Allah Azza wa Jalla dan bersaksi akan Nubuwah dan Risalah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka mengenal Rabb mereka dengan sifat-Nya yang dipaparkan oleh wahyu-Nya dan risalah-Nya, atau yang dipersaksikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dari berita yang datang dari khobar shahih dan dinukil oleh orang yang adil dan tsiqot. Mereka menetapkan bagi Allah Azza wa Jalla apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya sendiri di dalam Kitab-Nya, atau yang ditetapkan lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, tanpa melakukan tasybih (penyerupaan) terhadap makhluk-Nya, tanpa takyif (menggambarkan kaifiyatnya), tanpa ta'thil (meniadakan seluruh sifat-Nya), tanpa tahrif (memalingkan makna-Nya kepada makna yang bathil), tanpa tabdil (merubah maknanya) dan tanpa tamtsil (membuat contoh seperti makhluk). Allah Ta'ala berfirman :

ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

yang artinya : "Tiada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (asy-Syuraa : 11)

Imam az-Zuhri berkata :

على الله البيان، وعلى الرسول البلاغ، وعلينا التسليم

Artinya : "Hak Allah untuk menerangkan, dan hak Rasul untuk menyampaikan dan kewajiban kita untuk menerima pasrah"

Imam Sufyan bin 'Uyainah berkata :

كل ما وصف الله تعالى به نفسه في كتابه، فتفسيره تلاوته والسكوت عنه

Artinya : "Setiap apa yang disifatkan oleh Allah Ta'ala terhadap diri-Nya di dalam Kitab-Nya maka penjelasannya (tafsirnya) adalah bacaannya dan kita diam dari (memperbincangkan)nya."

Imam asy-Syafi'i berkata :

آمنت بالله، وبما جاء عن الله، على مراد الله، وآمنت برسول الله، وبما جاء عن رسول الله، على مراد رسول الله

Artinya : "Aku beriman kepada Allah, dan terhadap apapun yang datang dari Allah dengan apa yang dikehendaki Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah, dan terhadap apapun yang datang dari Rasulullah dengan apa yang dikehendaki Rasulullah."

Di atas inilah para salaf dan para imam kholaf Radhiyallahu 'anhum berjalan, seluruhnya bersepakat untuk mengikrarkan dan menetapkan segala sifat Allah yang datang dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya tanpa menentang dengan mentakwilnya, kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka dan berpedoman dengan cahaya mereka.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah memperingatkan kita dari perkara-perkara baru (muhdats), dan memberitakannya bahwa hal tersebut termasuk kesesatan, beliau bersabda di dalam haditsnya :

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، عضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل بدعة ضلالة

yang artinya : "Maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, gigitlah dengan gigi gerahammu, dan jauhilah olehmu perkara-perkara yang baru, karena setiap bid'ah itu sesat." Yang telah disebutkan hadits dan takhrijnya.

Abdullah bin Mas'ud berkata :

اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم

Artinya : "Ittiba'lah dan jangan membuat bid'ah karena kalian telah dicukupi"

Umar bin Abdul Aziz rahimahullahu berkata :

قف حيث وقف القوم، فإنهم عن علم وقفوا وببصر نافذ كفوا

Artinya : "Berhentilah dimana kaum -salaf- itu berhenti, mereka berhenti karena berangkat dari dasar ilmu serta mampu untuk membahas namun mereka menahan diri darinya"

Imam al-Auza'i Rahimahullahu berkata :

عليك بآثار من سلف وإن رفضك الناس، وإياك وآراء الرجال وإن زخرفوه لك بالقول

Artinya : "Peganglah atsar dari salaf walaupun manusia menentangnya, jauhilah oleh kalian pemikiran-pemikiran manusia walaupun mereka menghiasinya dengan perkataan."


Termasuk diantara aqidah salaf adalah, pendapat mereka bahwa Iman adalah ucapan dengan lisan, perbuatan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dengan hati, serta iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, bahwasanya kebaikan dan kejahatan adalah dengan keputusan (Qodlo') Allah dan ketentuan-Nya (Qodar), namun Dia tidaklah memerintahkan keburukan. Sebagaimana perkataan sebagian salaf : Seluruhnya adalah dengan perintah Allah, karena Allah Ta'ala memerintahkan kebaikan dan melarang dari keburukan, Dia tidak memerintahkan kepada kekejian namun ia melarangnya. Dan manusia tidaklah dipaksa, ia mampu memilih perbuatan dan keyakinannya, dan ia berhak atas siksaan dan pahala sesuai dengan ikhtiarnya, ia dapat memilih perintah dan larangan. Allah Ta'ala berfirman :

فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر

yang artinya : "Barangsiapa yang berkehendak beriman maka hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang berkehendak kafir biarlah ia kafir." (al-Kahfi : 29).

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin yang berdosa, walaupun mereka melakukan dosa besar, kecuali jika ia menentang sesuatu dari agama yang telah diketahui akan urgensinya, dan ia mengetahui mana yang khusus dan mana yang umum, dan perkara ini telah tetap dari al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma' salaful ummah dan para imamnya.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, mereka beribadah kepada Allah Ta'ala semata dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tidaklah mereka meminta melainkan hanya kepada Allah, mereka tidak pula beristighotsah dan beristi'anah melainkan kepada-Nya Subhanahu. Mereka tidak bertawakal melainkan kepada-Nya Jalla wa 'Ala dan mereka bertawasul kepada Allah dengan ketaatannya, ibadahnya, dan amal-amal shalihnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala :

يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة

yang artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan-jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya." (al-Maidah : 35) yaitu, dekatlah kepada-Nya dengan ketaatan dan ibadah kepada-Nya.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, sholat boleh di belakang setiap orang yang baik maupun yang fajir selama zhahirnya masih benar. Dan kita tidak menetapkan seorangpun siapapun dia dengan surga atau neraka kecuali terhadap orang-orang yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Akan tetapi kami mengharapkan kebaikan dan takut akan keburukan. Kami mempersaksikan sepuluh orang yang diberitakan masuk surga sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mempersaksikan mereka. Dan setiap orang yang dipersaksikan oleh Nabi dengan surga maka kami turut mempersaksikannya, karena beliau tidaklah berucap dari hawa nafsu kecuali wahyu yang diwahyukan.

Kami memberikan loyalitas/kecintaan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan menahan diri dari memperbincangkan percekcokan dan perselisihan dinatara mereka. Dan urusannya adalah pada Rabb mereka. Kami tidak mencela salah seorang dari sahabat, sebagai pengejawantahan sabdanya :

لا تسبوا أصحابي، فو الذي نفسي بيده لو أنفق أحدكم مثل أحد ذهبا ما بلغ مدّ أحدهم ولا نصيفه

Yang artinya : "Janganlah kalian mencela sahabatku, demi dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan hartanya sebanyak gunung uhud, tidak akan mampu mencapai satu mud infaq mereka maupun setengahnya."

Para sahabat tidaklah maksum dari kesalahan, karena ishmah (kemaksuman) adalah milik Allah dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam menyampaikan. Dan Allah Ta'ala memelihara ijma' ummat dari kesalahan, bukan satu individu, sebagaimana sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam haditsnya :

إن الله لا يجمع أمتي على الضلالة، ويد الله على الجماعة

yang artinya : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan, dan tangan Allah di atas jama'ah."

Kami memohon Ridha Allah bagi isteri-isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Ummahatul Mukminin, dan kami berkeyakinan bahwa mereka suci terbebas dari segala keburukan.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, tidak wajib bagi seorang muslim untuk mengikatkan dirinya kepada madzhab fikih tertentu, dan boleh baginya keluar dari satu madzhab ke madzhab lainnya berdasarkan kekuatan dalil. Tidak ada madzhab bagi orang awam, madzhabnya adalah madzhab muftinya. Bagi penuntut ilmu, jika dia memiliki keahlian dan mampu untuk mengetahui dalil-dalil para imam maka hendaklah ia melakukannya, dan berpindah dari madzhabnya seorang imam dalam suatu masalah kepada madzhab imam lain yang memiliki dalil lebih kuat dan pemahaman lebih rajih di dalam masalah lainnya. Yang demikian ini dikatakan sebagai muttabi' bukanlah mujtahid, karena ijtihad adalah menggali hukum langsung dari Kitabullah dan as-Sunnah sebagaimana para imam yang empat melakukannya ataupun selain mereka dari para ahi fikih dan ahli hadits.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, bahwasanya para sahabat yang empat, yaitu : Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali Radhiyallahu 'anhum, mereka adalah para khalifah yang lurus lagi mendapatkan petunjuk (Khulafa'ur Rasyidin al-Mahdiyin). Mereka yang memegang kekhalifahan nubuwah selama 30 tahun ditambah kekhilafahan Husain Radhiyallahu 'anhum, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

الخلافة في أمتي ثلاثون سنة، ثم مُلك بعد ذلك

yang artinya : "Kekhilafahan pada ummatku selama 30 tahun, kemudian akan berbentuk kerajaan setelahnya."

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, wajib mengimani seluruh yang berada di dalam al-Qur'an dan Allah Ta'ala memerintahkan kita dengannya, dan meninggalkan setiap apa yang dilarang Allah kepada kita baik secara global maupun terperinci. Kami mengimani segala apa yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan yang telah shahih penukilan darinya baik yang dapat kita saksikan maupun yang tidak dapat, sama saja baik yang dapat kita nalar maupun yang tidak kita ketahui dan tidak pula dapat kita telaah hakikat maknanya. Kita melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan kita menjauhi terhadap segala apa yang Allah dan Rasul-Nya melarangnya. Kita berhenti pada batasan-batasan (Hudud) Kitabullah Ta'ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan yang datang dari Khalifah ar-Rasyidin al-Mahdiyin. Wajib bagi kita mengikuti segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam baik berupa keyakinan, amal perbuatan, dan ucapan, serta meniti jalannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan jalannya para Khalifah ar-Rasyidin al-Mahdiyin yang empat baik berupa keyakinan, amal perbuatan mapun ucapan. Inilah dia sunnah yang sempurna itu, dikarenakan sunnah Khalifah ar-Rasyidin diikuti sebagaimana mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Umar bin Abdul Aziz berkata :

سن لنا رسول الله r وولاة الأمر من بعده سننا، الأخذ بها اعتصام بكتاب الله، وقوة على دين الله، ليس لأحد تبديلها ولا تغييرها، ولا النظر في أمرٍ خالفها، من اهتدى بها فهو المهتدي، ومن استنصر بها فهو المنصور، ومن تركها واتبع غير سبيل المؤمنين ولاّه الله ما تولى وأصلاه جهنم وساءت مصيراً

Artinya : "Rasulullah meninggalkan sunnah bagi kita demikian pula para pemimpin setelah beliau, mengambil sunnah dengan berpegang terhadap Kitabullah dan memperkuat agama Allah. Tidak ada seorangpun yang merubah maupun menggantinya, tidak pula ada pandangan terhadap sesuatu yang menyelisihinya. Barangsiapa yang berpetunjuk dengannya maka ia akan mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang menolongnya maka ia akan ditolong. Namun barangsiapa yang meninggalkannya dan mengikuti selain jalannya orang yang beriman maka Allah akan membiarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang ia condong padanya dan baginya jahannam seburuk-buruk tempat kembali."

Sebagai saksi kebenaran terhadap hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة

yang artinya : "Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena setiap bid'ah itu sesat." Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok agama, dan hadits ini semakna dengan hadits :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ

yang artinya : "Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami yang tidak ada perintahnya maka tertolak."

Di dalam hadits ini terdapat suatu peringatan dari mengikuti perkara-perkara yang baru (muhdats) di dalam agama dan ibadah. Yang dimaksud dengan bid'ah adalah segala perkara yang diada-adakan tanpa ada dasarnya dari syariat yang menunjukkan pensyariatannya. Adapun jika suatu perkara memiliki asal di dalam syariat yang menunjukkan pensyariatannya maka bukanlah hal ini termasuk bid'ah secara syariat, namun dimutlakkan sebagai bid'ah secara bahasa. Maka setiap orang yang mengada-adakan sesuatu dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada asal yang yang menunjukkannya maka ia termasuk kesesatan, dan agama ini berlepas diri darinya baik itu dalam masalah keyakinan, perbuatan maupun ucapan.

Adapun yang terdapat pada ucapan salaf yang menyatakan kebaikan beberapa bid'ah, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bid'ah secara bahasa tidak secara syar'i (istilah), diantaranya adalah ucapan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu tatkala beliau mengumpulkan manusia pada saat sholat Tarawih di bulan Ramadhan pada imam yang satu di Masjid, beliau keluar dan melihat mereka sedang sholat, beliau berkata : نعمت البدعة هذه yang artinya : "Ini adalah sebaik-baik bid'ah", namun amalan ini memiliki dasar di dalam syariat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah sholat Tarawih secara berjama'ah di Masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena takut akan diwajibkan kepada ummatnya sedangkan ummatnya tidak mampu mengamalkannya. Ketakutan ini sirna setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam, oleh karena itu Umar menghidupkannya kembali. Adapun ibadah yang telah tetap di dalam syariat maka tidak boleh menambah-nambahinya.

Misalnya adzan, telah baku kaifiyatnya yang disyariatkan tanpa perlu menambah-nambah maupun mengurang-ngurangi. Demikian pula sholat, telah baku kaifiyatnya yang disyariatkan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : صلوا كما رأيتموني أصلي yang artinya : "Sholatlah kamu sebagaimana aku sholat." Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Shahih­-nya. Haji pun juga telah baku kaifiyatnya dari syariat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : خذوا عني مناسككم yang artinya : "Ambillah dariku manasik hajimu." Ada beberapa perkara yang dilakukan oleh kaum muslimin yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Namun perkara-perkara ini merupakan suatu keharusan (dharuriyah) dalam rangka memelihara Islam, mereka memperbolehkanya dan mendiamkannya, seperti Utsman bin 'Affan yang mengumpulkan mushaf menjadi satu karena khawatir ummat akan berpecah belah, dan para sahabat lainpun menganggap hal ini baik, karena padanya terdapat maslahat yang sangat jelas. Juga seperti penulisan hadits Nabi yang mulia dikarenakan khawatir akan sirna karena kematian para penghafalnya. Demikan pula penulisan tafsir al-Qur'an, al-Hadits, penulisan ilmu nahwu untuk menjaga Bahasa Arab yang merupakan sarana dalam memahami Islam, penulisan ilmu mustholah hadits. Semua ini diperbolehkan dalam rangka menjaga syariat Islam dan Allah Ta'ala sendiri bertanggung jawab dalam memelihara syariat ini sebagaimana dalam firman-Nya :

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

yang artinya : "Sesungguhnya kami yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya kami pula yang bertanggung jawab memeliharanya." (al-Hijr : 9)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :

يحمل هذا العلم من كل خَلَف عُدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المُبطلين، وتأويل الجاهلين

yang artinya : "Ilmu ini diemban pada tiap generasi oleh orang-orang adilnya, mereka menghilangkan perubahan orang-orang yang ekstrim, penyelewengan orang-orang yang bathil dan penakwilan orang-orang yang bodoh." Hadits ini hasan dengan jalan-jalannya dan syawahid (penguat)-nya.

Inilah aqidah generasi pertama dari ummat ini, dan aqidah ini adalah aqidah yang murni seperti murninya air tawar, aqidah yang kuat seperti kuatnya gunung yang menjulang tinggi, aqidah yang kokoh seperti kokohnya tali simpul yang kuat, dan ia adalah aqidah yang selamat, jalan yang lurus di atas manhaj al-Kitab dan as-Sunnah serta di atas ucapan Salaful Ummah dan para imamnya. Dan ia adalah jalan yang mampu menghidupkan hati generasi pertama ummat ini, ia merupakan aqidah Salafush Shalih, Firqoh Najiyah (Golongan yang selamat) dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Aqidah ini mrp aqidahnya para imam yang empat dan pemegang madzhab yang masyhur serta para pengkutnya, aqidahnya jumhur ahli fikih dan ahli hadits serta para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan aqidahnya orang-orang yang meniti jalan mereka hingga saat ini dan hingga hari kiamat. Sesungguhnya telah berubah orang-orang yang merubah ucapan-ucapan mereka, oleh sebagian mutaakhirin (orang-orang generasi terakhir) yang menyandarkan diri mereka kepada madzhab mereka. Maka wajib atas kita kembali kepada aqidah salafiyah yang murni, kepada sumbernya yang telah direguk oleh orang-orang terbaik dari Salaf Sholih. Maka kita diam terhadap apa yang mereka diamkan, kita menjalankan ibadah sebagaimana mereka menjalankannya, dan kita berpegang dengan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma' Salaful Ummah dan para imamnya serta qiyas yang shahih pada perkara-perkara yang baru (kontemporer).

Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Adzkar :

واعلم أن الصواب المختار ما كان عليه السلف رضي الله عنهم، وهذا هو الحق، ولا تغترن بكثرة من يخالفه

yang artinya : "Ketahuilah, bahwa kebenaran yang terpilih adalah apa yang para salaf Radhiyallahu 'anhum berada di atasnya."

Demikian pula Abu Ali al-Fudhail bin 'Iyyadh berkata :

الزم طرق الهدى ولا يضرك قِلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة، ولا تغترن بكثرة الهالكين

yang artinya : "Tetapilah jalan-jalan petunjuk dan tidaklah akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menitinya. Jauhilah olehmu jalan-jalan kesesatan, dan janganlah dirimu terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa."

Inilah satu-satunya jalan yang akan memperbaiki keadaan ummat ini. Telah benar apa yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas Rahimahullahu, seorang penduduk Madinah al-Munawarah ketika berkata :

لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها

yang artinya : "Tidaklah akan baik akhir ummat ini kecuali mereka mengikuti baiknya awal ummat ini." Tidaklah akan musnah kebaikan di dalam ummat ini, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda di dalam haditsnya :

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك

yang artinya : "Akan senantiasa ada segolongan dari ummatku yang menampakkan kebenaran, tidaklah membahayakan mereka orang-orang yang mencela, mereka tetap dalam keadaan demikian sampai datangnya hari kiamat."

Inilah Aqidah Salaf Sholih yang telah disepakati oleh sejumlah besar para ulama, diantaranya adalah Abu Ja'far ath-Thahawi, yang telah disyarah aqidahnya oleh Ibnu Abil Izz al-Hanafi salah seorang murid Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, yang dinamakan dengan

'Syarh Aqidah ath-Thahawiyah'. Diantara mereka juga Abul Hasan al-Asy'ari di dalam kitabnya 'al-Ibanah 'an Ushulid Diyaanah', yang di dalamnya terhimpun aqidah beliau yang terakhir, beliau berkata :

لنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها: التمسك بكتاب الله عز وجل، وبسنة نبينا r، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن حنبل قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون

yang artinya : "Pendapat yang kita berpendapat dengannya dan agama yang kita beragama dengannya adalah : kita berpegang dengan Kitabullah Azza wa Jalla dan dengan Sunnah Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa Sallam, serta dengan apa yang diriwayatkna dari para sahabat, tabi'in dan para imam hadits. Kami berpegang dengan itu semuanya, dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dan orang-orang yang menyelisihi ucapannya adalah orang yang sesat."

Termasuk pula tulisan tentang aqidah salafus shalih adalah apa yang ditulis oleh Ash-Shabuni dalam kitabnya 'Aqidah Salaf Ashabul hadits', dan juga diantaranya adalah Muwafiquddin Abu Qudamah al-Maqdisy al-Hanbali dalam kitabnya 'Lum'atul I'tiqod al-Haadi ila Sabilir Rosyad', dan selain mereka dari para ulama yang mulia. Semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan.

Kami memohon kepada Allah untuk menunjuki kami kepada Aqidah yang murni, jalan yang terang benderang lagi suci dan akhlak yang mulia terpuji. Dan kita memohon supaya menghidupkan kita di atas Islam dan mematikan kita di atas syariat nabi kita Muhammad alaihi Sholatu wa Salam.

Ya Allah, tetapkanlah kami sebagai muslim dan kumpulkanlah kami bersama orang-orang yang shalih jangan orang-orang yang hina lagi terfitnah, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami serta seluruh kaum mukminin pada hari ditegakkannya perhitungan. Kami memohon kepada Allah Ta'ala agar senantiasa mengilhamkan kepada kami kebenaran di dalam berkata dan beramal, sesungguhnya Ia Maha Mampu atas segala hal dan Dialah Dzat satu-satunya yang layak dipinta. Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Allah pemelihara alam semesta.

Pelayan Sunnah Nabawiyah, Abu Muhammad Abdul Qodir al-Arna'uth

Allahlah di balik segala tujuan.
Dialihbahasakan oleh Abu Salma al-Atsariy at-Tirnatiy dari http://www.alarnaut.com/ (Website resmi Syaikh Abdul Qadir al-Arna'uth)
Dipersembahkan bagi penulis -Rahimahullahu- yang telah pulang ke rahmatullah pada tanggal 13 Syawwal 1425/26 November 2004, semoga ilmu dan amalnya akan tetap kekal di dunia ini dan semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkannya ke dalam surga-Nya kelak bersama para rasul, nabi, mujahidin, shiddiqin dan syuhada'. Disebarkan oleh Lajnah Dakwah dan Ta'lim FSMS (Forum Silaturrahim Mahasiswa as-Sunnah), Surabaya


Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
Sunday, May 13, 2007


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.


PENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADITS
(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram )


Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih. Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba’ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah kedalam Arba’ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa’ atau dengan Musnad Ad-Darimi. Sab’ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba’ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq ‘Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.

Istilah istilah Hadits

Matan =materi hadits yang berakhir dengan sanad.

Sanad =para perawi yang menyampaikan kepada matan.

Isnad = rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah

“Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash,
dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah
bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu
berdasarkan niat masing masing.” Sabda Nabi saw yang
mengatakan: ”Sesungguhnya semua amal perbuatan itu
berdasarkan niat masing-masing” disebut matan, sedangkan
diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad
disebut isnad.

Musnad = hadits yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadits hadits setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.

Musnid =orang yang meriwayatkan hadits berikut isnadnya.

Al Muhaddits = orang yang ahli dalam bidang hadits dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).

Al-Haafizh =orang yang hafal seratus ribu buah hadits baik secara matan maupun isnad.

Al-Hujjah = orang yang hafal tiga ratus ribu hadits.

Al-Haakim = orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.

Pembagian Hadits

1. Hadits bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatannya) terbagi menjadi muttawatir dan ahad.

a. Hadits Muttawatir = hadits yang memenuhi empat syarat , yaitu :

= diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.

= menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.

= mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal mulai dari permulaan hingga akhir.

= hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik).

Hadits muttawatir dapat memberikan faedah ilmu yang bersifat dharuri, atau dengan kata lain ilmu yang tidak
dapat ditolak lagi kebenarannya. Contoh hadits muttawatir adalah hadits yang mengatakan :
“Barang siapa yang berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap siap
menempati tempat duduknya dari api neraka.”

b. Hadits Ahad = hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat muttawatirnya. Hadits ahad dapat
memberikan faedah yang bersifat zhan dan adakalanya dapat memberikan ilmu yang bersifat nazhari (teori)
apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.

Pembagian hadits ahad ada tiga yaitu :

1. Hadits Sahih = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hafalan yang sempurna sanad
nya muttashil (berhubungan dengan yang lainnya) lagi tidak mu’allal (tercela) dan tidak pula syadz
(menyendiri).

Istilah adil yang dimaksud ialah adil riwayatnya, yakni seorang muslim yang telah aqil baliq, bertaqwa dan
menjauhi semua dosa dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak
belian.

Istilah dhabth ialah hafalan. Ada dua macam dhabth yaitu :
· dhabth shard ialah orang yang bersangkutan hafal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala
dengan baik.

· dhabth kitab yaitu orang yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang dia terima dari gurunya
dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain text-book).

Mu’allal = hadits yang dimasuki oleh suatu ‘illat (cela) yang tersembunyi hingga mengharuskannya di
mauqufkan (diteliti lebih mendalam).

Syadz =hadits yang orang tsiqah (yang dipercaya) nya berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.

2. Hadits Hasan = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad
nya muttashil lagi tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Apabila hadits hasan ini kuat karena didukung oleh
satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi.

3. Hadits Dha’if =hadits yang peringkatnya dibawah hadits hasan dengan pengertian karena didalamnya
terdapat cela pada salah satu syarat hasan. Apabila hadits dha’if menjadi kuat karena didukung oleh jalur
periwayatan lainnya atau sanad lainnya maka predikatnya naik menjadi hasan lighairihi.
Shahih dan hasan keduanya dapat diterima. Dha’if ditolak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali
dalam masalah keutamaan beramal tetapi dengan syarat predikat dha’ifnya tidak terlalu parah dan subyek yang diketengahkan masih termasuk ke dalam pokok syariat, serta tidak berkeyakinan ketika mengamalkannya sebagai hal yang telah ditetapkan melainkan tujuan dari pengamalannya hanyalah untuk bersikap hati-hati dalam
beramal.

2. Hadits bila ditinjau dari perawinya terbagi menjadi :

a. Hadits Masyhur = hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi masih belum memenuhi syarat muttawatir. Terkadang diucapkan pula terhadap hadits yang telah terkenal hingga menjadi buah bibir, sekali pun hal itu maudhu’ (palsu).

b. Hadits ‘Aziz = hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja, sekalipun masih dalam satu thabaqah
(tingkatan) karena sesungguhnya jumlah perawi yang sedikit pada mayoritasnya dapat dijadikan pegangan
dalam bidang ilmu ini.

c. Hadits Gharib =hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sekalipun dalam salah satu thabaqah.
Hadits gharib terbagi menjadi dua macam yaitu :

· gharib muthlaq yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri dalam pokok sanadnya.
· gharib nisbi yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri pada sanad selanjutnya.

3. Hadits terbagi pula menjadi dua bagian lainnya yaitu maqbul dan mardud :

a. Hadits Maqbul =hadits yang dapat dijadikan hujjah yang didalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits maqbul terbagi menjadi empat yaitu :

- shahih lidzatihi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttashil
sanadnya, tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Shahih lidzatihi ini berbeda beda peringkatnya menurut
perbedaan sifat yang telah disebutkan tadi.

- shahih lighairihi yaitu hadits yang mengandung sebagian sifat yang ada pada hadits maqbul, paling
sedikit. Akan tetapi dapat ditemukan hal hal yang dapat menyempurnakan kekurangannya itu, seumpamanya ada hadits yang sama diriwayatkan melalui satu atau banyak jalur lainnya.

- hasan lidzatihi yaitu hadits yang dinukil oleh seseorang yang adil, ringan hafalannya (kurang sempurna)
muttashil sanadnya, melalui orang yang semisal dengannya, hanya tidak mu’allal dan tidak pula syadz.

- hasan lighairihi yaitu hadits yang masih ditangguhkan penerimaannya tetapi telah ditemukan di dalam
nya hal hal yang menguatkan segi penerimaannya. Contohnya ialah hadits yang didalam sanadnya
terdapat orang yang keadaannya masih belum diketahui atau orang yang buruk hafalannya.

Hadits Maqbul pun terbagi menjadi :

1. Muhkam yaitu hadits yang tidak ada hadits lain yang menentangnya.
2. Mukhtalaf yaitu haidts yang didapatkan ada hadits lain yang menentangnya tetapi masih dapat digabungkan diantara keduanya.
3. Nasikh yaitu hadits yang datang kemudian isinya menentang hadits yang semisal.
4. Rajih yaitu hadits yang dapat diterima, kandungannya menentang hadits yang semisal yang mendahuluinya karena adanya penyebab yang mengharuskan demikian, sedangkan menggabungkan keduanya tidak mungkin, lawan dari rajah ialah marjuh.

b. Hadits Mardud= hadits yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat shahih dan hasan . Hadits mardud ini
tidak dapat dijadikan hujjah dan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu :
¨. mardud yang disebabkan adanya keguguran dalam isnad (sanad)nya, terbagi menjadi lima macam :

a. Mu’allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya gugur seorang perawi, dan termasuk ke dalam hadits
mu’allaq ialah hadits yang semua sanadnya dibuang.

b. Mursal yaitu hadits yang dinisbatkan oleh seorang tabi’in kepada Nabi saw.

c. Mu’adhdhal yaitu hadits yang gugur darinya dua orang perawi secara berturut turut.

d. Munqathi yaitu haidts yang gugur darinya seorang atau dua orang perawi, tetapi tidak berturut turut.

e. Mudallas yaitu hadits yang terdapat keguguran didalamnya tetapi tersembunyi, sedangkan ungkapan
periwayatnya memakai istilah ‘an (dari). Contohnya dia menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari
orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada
si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung, contoh ini dinamakan mudallas isnad.
Adakalanya, nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak
dikenal, contoh seperti ini dinamakan mudallas syuyukh. Adakalanya, dia menggugurkan seorang perawi
dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah, contoh ini dinamakan mudallas taswiyah.
¨. mardud karena adanya cela terbagi menjadi empat macam :

a. maudhu’ yaitu hadits yang perawinya dusta mengenainya.

b. matruk yaitu hadits yang celanya disebabkan perawi dicurigai sebagai orang yang dusta.

c. munkar yaitu hadits yang celanya karena kebodohan siperawinya atau karena kefasikannya.

d. mu’allal yaitu hadits yang celanya karena aib yang tersembunyi, tetapi lahiriahnya selamat, tidak tampak aib.

Termasuk kedalam kategori tercela ialah yang disebabkan idraj (kemasukan). Jenis ini ada dua macam :

· Mudraj matan ialah hadits yang didalamnya ditambahkan sebagian dari lafazh perawi, baik pada
permulaan, tengah-tengah atau bagian akhirnya. Adakalanya untuk menafsirkan lafazh yang gharib (sulit)
seperti yatahannatsu (yata’abbadu) yang artinya beribadah.

· Mudraj isnad ialah hadits yang didalamnya ditambahkan isnadnya seperti menghimpun beberapa sanad
dalam satu sanad tanpa penjelasan.

Termasuk kedalam pengertian tha’n (cacat) ialah qalb, yaitu hadits yang maqlub (terbalik) disebabkan
seorang perawi bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya karena mendahulukan atau
mengakhirkan sanad atau matan. Termasuk pula kedalam pengertian tha’n ialah idhthirab yakni hadits yang
mudhtharib yaitu hadits yang perawinya bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat dari padanya
dalam sanad, matan atau dalam kedua-duanya, padahal tidak ada murajjih (yang menentukan mana yang
lebih kuat dari pada keduanya) sedangkan menggabungkan keduanya merupakan hal yang tidak dapat
dilakukan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah tashhif yaitu hadits mushahhaf dan tahrif (hadits muharraf).
Hadits mushahhaf ialah cela yang ada padanya disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain
nya yang lebih kuat dalam hal titik. Jika ada pertentangan itu dalam hal harakat, maka dinamakan hadits
muharraf. Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah jahalah, juga disebut ibham (misteri), bid’ah, syudzudz,
dan ikhtilath.
· hadits mubham ialah hadits yang didalamnya ada seorang perawi atau lebih yang tidak disebutkan
namanya.
· hadits mubtadi’ ialah jika bid’ahnya mendatangkan kekufuran, maka perawinya tidak dapat diterima, jika
bid’ahnya menimbulkan kefasikan, sedangkan perawinya orang yang adil dan tidak menyeru kepada
bid’ah tersebut, maka haditsnya dapat diterima.
· hadits syadz ialah hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah
darinya. Lawan kata dari hadits syadz ialah hadits mahfuzh, yaitu hadits yang seorang perawi tsiqahnya
bertentangan dengan hadits perawi lainnya yang tsiqahnya masih berada di bawah dia.
· hadits mukhtalath ialah hadits yang perawinya terkena penyakit buruk hafalan disebabkan otaknya
terganggu, misalnya akibat pengaruh usia yang telah lanjut (pikun). Hukum haditsnya dapat diterima
sebelum akalnya terganggu oleh buruk hafalannya, adapun sesudah terganggu tidak dapat diterima.
Jika tidak dapat dibedakan antara zaman sebelum terganggudan zaman sesudahnya, maka senuanya
ditolak.

4. Hadits bila dipandang dari segi matan dan sanad terbagi menjadi :

a.Hadits marfu’ ialah hadits yang disandarkan kepada Rasullullah saw baik secara terang terangan maupun secara hukum.

b. Hadits Mauquf ialah hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada seorang sahabat tanpa adanya tanda tanda yang menunjukan marfu’, baik secara ucapan maupun perbuatan.

c. Hadits Maqthu’ ialah hadits yang isnad (sanad) nya terhenti sampai kepada seorang tabi’in.

d. Hadits Muthlaq ialah hadits yang bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan sanad sampai kepada Rasullullah saw. Lawan dari al-muthlaq ialah hadits nazil muthlaq.

e. Hadits al Nasabi ialah hadits yang perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan berakhir sampai kepada seorang Imam terkenal seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

f. Hadits Nazil Nasabi ialah lawan haidts al nasabi. Hadits al nasabi lebih ke shahih karena kekeliruannya sedikit. Hadits nazil nasabi ini tidak disukai kecuali karena keistimewaan khusus yang ada padanya.

Berbagai Jenis Riwayat

Ada berbagai jenis riwayat yaitu riwayat Aqran, Akabir ‘an Ashaghir, Ashaghir ‘an Akabir, Musalsal, Muttafiq dan Muftariq, Mu’talif dan Mukhtalif, Mutasyabih, Muhmal, serta Sabiq dan Lahiq.
Riwayat Aqran = riwayat yang dilakukan oleh salah seorang perawi diantara dua orang perawi yang berteman dari perawi lainnya. Dua orang teman ialah teman yang berdekatan umur atau isnadnya, atau kedua duanya. Berdekatan dalam hal isnad artinya berdekatan dalam berteman dan mengambil dari guru. Riwayat Aqran ini terdiri dari :

1. Mudabbaj yaitu riwayat dari masing masing dua perawi yang berteman lagi sama umur dan isnadnya dari perawi lainnya.

2. Ghairu Mudabbaj yaitu riwayat dari salah seorang dua perawi yang berteman, sedangkan keduanya sama dalam hal umur dan isnadnya.

Riwayat Akabir ‘an Ashaghir Þ seseorang meriwayatkan suatu hadits dari orang yang lebih rendah darinya dalam hal umur atau dalam bersua (berteman). Termasuk kedalam pengertian ini ialah riwayat para orang tua dari anak anak Nya dan riwayat para sahabat dari para tabi’in, jenis ini jarang didapat. Kebalikannya memang banyak, yaitu riwayat Ashaghir ‘an Akabir atau riwayat yang dilakukan oleh anak dari orang tuanya atau tabi’in dari sahabat, jenis ini banyak didapat.

Hadits Musalsal = hadits yang para perawinya sepakat terhadap kondisi qauli atau fi’li , seperti lafazh haddatsani dan anba’ani dan seterusnya.

Hadits Muttafaq dan Muftaraq = hadits yang semua nama perawinya telah disepakati secara lafazh dan tulisan, tetapi madlul atau pengertiannya berbeda beda.

Hadits Mu’talaf dan Mukhtalaf = hadits yang sebagian nama perawinya disepakati secara tulisan, tetapi secara ucapan berbeda, seperti lafazh Zabir dan Zubair.

Hadits Mutasyabih = hadits yang nama sebagian perawinya disepakati, tetapi nama orang tua mereka masih diperselisihkan, seperti Sa’ad ibnu Mu’adz dan Sa’ad ibnu Ubadah.

Hadits Muhmal= hadits yang diriwayatkan dari dua orang perawi yang bersesuaian dalam nama hingga tidak dapat dibedakan. Apabila keduanya merupakan dua orang tsiqah (terpercaya), maka tidak ada bahayanya, seperti nama Sufyan, tetapi apakah Sufyan Ats-Tsauri ataukah Sufyan ibnu Uyainah. Jika keduanya bukan orang orang tsiqah maka berbahaya.

Hadits Sabiq dan Lahiq = suatu hadits yang didalamnya tergabung suatu riwayat yang dilakukan oleh dua orang perawi dari gurunya masing masing, tetapi salah seorang diantara keduanya telah wafat lebih dahulu jauh sebelum yang lainnya, sedangkan jarak antara matinya orang pertama dengan orang kedua cukup lama.
Ungkapan penyampaian hadits yang terkuat ialah memakai kalimat sami’tu (aku telah mendengar) dan haddatsani (telah menceritakan sebuah hadits kepadaku). Setelah itu memakai lafazh qara’tu ‘alaihi (aku belajar darinya), kemudian memakai lafazh quri-a ‘alaihi (diajarkan kepadanya), sedangkan aku mendengarkannya, kemudian memakai lafazh anba-ani (dia telah memberatkan kepadaku), kemudian memakai lafazh nawalani ijazatan (dia telah memberikan hadits ini kepadaku secara ijazah), kemudian memakai lafazh kutiba ilayya (dikirimkan kepadaku melalui tulisan atau surat), kemudian memakai lafazh wajadtu bikhaththihi (aku menemukan pada tulisannya),
Adapun hadits mu’an’an seperti ‘an fulaanin (dari si fulan), maka hadits ini dikategorikan kedalam hadits yang diterima melalui mendengarkannya dari orang yang sezaman, tetapi tidak mudallas.

Penutup

Adil riwayat =seorang muslim yang akil baliq, menjauhi dosa dosa besar dan memelihara diri dari dosa dosa kecil pada sebagian besar waktunya, tetapi tidak disyaratkan laki laki dan merdeka. Oleh karena itu, riwayat yang dilakukan oleh wanita dan budak belian dapat diterima. Riwayat yang dilakukan oleh ahli bid’ah jika dia orang yang adil lagi tidak menyerukan orang lain kepada bid’ahnya dan bid’ahnya tidak sampai kepada tingkatan kekufuran (bid’ah munkarah) diterima pula.




Empat peringkat urutan adil

1. Si Fulan orang yang sangat terpercaya, dapat dijadikan sebagai rujukan, sangat handal untuk dijadikan hujjah, dapat dijadikan rujukan dan hujjah, hafalannya dapat dijadikan hujjah.

2. Si Fulan orang yang terpercaya, atau dapat dijadikan hujjah, atau orang yang hafizh, atau orang yang dapat

menjadi rujukan, atau orang yang dhabith, atau orang yang mutqin (mendalami).
Kebaikan kedua peringkat diatas ialah bahwa hadits mereka dapat ditulis untuk dijadikan hujjah, pelajaran dan
saksi (bukti) karena lafazhnya menunjukan pengertian yang mengandung makna adil dan dhabith.

3. Si Fulan orang yang jujur, atau orang yang terpilih, atau orang yang dapat dipercaya, atau boleh diambil haditsnya,
atau tidak ada celanya. Orang yang menduduki peringkat ini haditsnya boleh ditulis, tetapi masih harus di pertimbangkan karena lafazhnya tidak memberikan pengertian dhabith. Sekalipun demikian, hadits mereka dapat dianggap setelah mendapat persetujuan dari orng orang yang dhabith.

4. Si Fulan menjadi sumber mereka dalam mengambil riwayat, atau haditsnya pantas dinilai jujur, atau si Fulan
mendekati kejujuran, guru yang bersifat adil, haditsnya saleh, atau jayyid, atau baik, atau cukup baik, aku berharap semoga dia tidak ada celanya, dia orang jujur Insya Alloh. Orang orang yang menduduki peringkat ini haditsnya boleh ditulis, tetapi hanya sebagai penjelasan.

Lima peringkat urutan tajrih (cela)

1. Si Fulan berdusta, hal ini merupakan tajrih (celaan) yang paling buruk, misalnya dengan kata kata dia pendusta, tukang membuat buat hadits, tukang membual lagi pendusta.

2. Si Fulan orang yang rendah, atau orang yang binasa, orang yang ngaco, omongannya perlu dipertimbangkan,
tertuduh sebagai orang dusta, atau membuat buat hadits. Dia orang yang ditinggalkan haditsnya, tidak dianggap tidak dianggap haditsnya, tidak dipercaya, tidak dapat dipegang, atau mereka tidak memberikan komentar mengenainya.

3. S Fulan ditolak haditsnya, dia tertolak, mereka menolak haditsnya, lemah haditsnya, lemparkan haditsnya, hadits
nya dilemparkan, mereka melemparkan haditsnya, lemah sekali, tidak ada apa apanya, tidak dianggap sesuatu, atau tidak ada harganya sama sekali.
Hadits orang yang menduduki ketiga peringkat ini tidak dianggap, baik untuk hujjah maupun untuk pelajaran.

4. Si Fulan munkar haditsnya, lemah haditsnya, kacau haditsnya, atau lemah sekali dan mereka menganggapnya
dha’if serta tidak dapat dijadikan hujjah.

5. Si Fulan masih ada lemahnya, atau masih ada celanya atau lemahnya, buruk hafalannya, lemah haditsnya, dekat
kepada lemah, mereka membicarakan tentangnya, bukan orang yang dapat menguasai, bukan orang yang kuat, bukan orang yang dapat dijadikan hujjah, bukan orang yang dapat dipegang, atau bukan orang yang memuaskan karena mereka telah mencelanya dan mereka berselisih pendapat mengenai dirinya. Si Fulan dikenal tetapi di ingkari.
Hadits orang yang menduduki peringkat keempat dan kelima ini dapat diketengahkan sebagai pelajaran dan saksi.
(bukti).


(Maraji’: Terjemahan Bulughul Maram oleh Bachrun Abu Bakar, terbitan Trigenda Karya)

Di ambil dari milis assunnah


Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.

Juz a little sharing from me. A poem that i did in malay:


"Hidup ini penuh pancaroba,
kita diduga, kita dicuba,
lantas kita usah leka,
atasi luka, perangi duka,
usah undur tanpa usaha.

Malah jadi manusia perlu tabah,
bukan lemah,
usah kau betah, jangan lelah,
pantang kalah, walau pasrah,
selitkan mimpi indah.

Andai kau gundah,
ingat kau punyai Allah,
jauhi resah,
pintalah arah..."

Abu_Dzar-15/05/2003




Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.


The Sunnah refers to the commands, prohibitions, sayings, actions and tacit approvals of the Messenger of Allaah (sallallaahu ’alayhi wa sallam). The whole of the Sunnah falls under the command of Allaah in His Book:

"Whatsoever the Messenger gives you then take it and whatsoever he prohibits you from then refrain from it." [Sooratul-Hashr 59:7]

The taabi’ee, Imaam az-Zuhree said:

"Clinging to the Sunnah is to be saved, as Imaam Maalik said, ‘like the Ark of Nooh.’ He who embarked upon it was saved and he who did not was destroyed." [ad-Daarimee]

The knowledge of the Sunnah has reached us via means of the hadeeth of the Messenger of Allaah (sallallaahu ’alayhi wa sallam). The hadeeth refers to a combination of a text and a chain of narration (isnaad) beginning from the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) and ending at the scholar who recorded that hadeeth. There are a number of conditions that the hadeeth must meet based upon which it is divided into two broad categories saheeh (authentic) and da’eef (weak). The authentic hadeeth is that hadeeth from which beliefs and legislation can be derived. The weak hadeeth does not allow us to derive beliefs or legislation from it.


Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
Tuesday, May 08, 2007


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.



Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan

Aqidah Secara Etimologi
Aqidah berasal dari kata 'aqd yang berarti pengikatan. Kalimat "Saya ber-i'tiqad begini" maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut.

Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan "Dia mempunyai aqidah yang benar" berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.

Aqidah Secara Syara'
Yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

Syari'at terbagi menjadi dua: i'tiqadiyah dan amaliyah.
I'tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i'tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga beri'tiqad terhadap rukun-ru­kun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). (1)

Sedangkan amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far'iyah (cabang agama), karena ia di­bangun di atas i'tiqadiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i'tiqadiyah.

Maka aqidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala:
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhan­nya." (Al-Kahfi: 110)

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter­masuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)

"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3)

Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang pertama kali adalah pelu­rusan aqidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia.

Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu', ..." (An-Nahl: 36)

Dan setiap rasul selalu mengucapkan pada awal dakwahnya: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan bagimu selainNya." (Al-A'raf: 59, 65, 73, 85)

Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dan seluruh rasul. Selama 13 tahun di Makkah -sesudah bi'tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam. Para da'i dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak kepada se­luruh perintah agama yang lain.

(1) Syarah Aqidah Safariniyah, I, hal. 4.



Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.


Ibn Abil-’Izz (d.792H) - rahimahallaah – said, “Knowledge of Usoolud-Deen (the fundamentals of the Religion) is the most noble branch of knowledge, since the excellence of a certain type of knowledge depends upon what it is concerned with, and this is the greater Fiqh (understanding), which is why Imaam Aboo Haneefah (d.150H) - rahmatullaahi ’alayhi - called that which he compiled concerning Usoolud-Deen: “al-Fiqhul-Akbar.” (the Greatest Fiqh). The need of the servants for this knowledge is greater than every other need; and it is the most necessary of all things for them, since there is no life for the hearts, nor any delight, nor any tranquility, except through knowing their Lord, the One to be worshipped, their Creator - with His Names, His Attributes and His Actions, and that He - along with all that - is more beloved to the person than anything else. So man’s striving is with regards to everything that will draw him nearer to Allaah, to the exclusion of the creation.

However, it is impossible for the minds to come to know and understand all that in detail, so the Most Merciful , the Most Majestic - from His mercy, sent Messengers to teach that and call to it; and to give good news to those who accept their Call and to warn those who reject it. The key to their Call and the essence of their message was the servant’s drawing closer to Allaah - the Most Perfect - through His Names, Attributes and Actions, since all that the Messengers were ordered with is built upon this. This then is followed by two great principles: Firstly: Knowing the path that leads to Him - and that is the Sharee’ah which is comprised of His orders and prohibitions. Secondly: That those following the path know what lies in store for them, which is endless bliss. So the people who know Allaah best are the ones who best follow the way to Him; and know best what lies at the end of the way.”[1]

Firmness Upon the Religion:

So, firmness upon the Religion of Allaah, excellence in this world and salvation in the Hereafter isbuilt upon two great matters: “Firstly: Knowledge of Allaah and the beautiful Names and lofty Attributes that befit Him and His Actions - and this necessitates appreciation of His Majesty, honouring Him, fearing Him, being in awe of Him, loving Him, placing one’s hopes in Him, placing reliance upon Him, being pleased with His decree and having patience with what He sends down as regards hardships. Secondly: Knowledge of what He loves and is pleased with, and what He hates and angers Him - whether beliefs saying, or outward or inward actions. So the one who has knowledge of this has to rush to fulfill that which Allaah loves and is pleased with, and to avoid that which He hates and which angers Him.”[2]

Sufyaan Ibn ’Uyaynah (d.197H) - rahimahullaah – said, “There are three types of Scholars: one who knows Allaah and knows Allaah’s commands; and one who knows Allaah, but does not know His commands; and one who knows Allaah’s commands, but does not know Allaah. And the most complete of them is the first - and that is the one who fears Allaah and knows His rulings.”[3]

The Essence of Islaam:

Explaining the essence of Islaam and its main pillar, the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) said, “Islaam is built upon five: Testifying that none has the right to be worshipped except Allaah and that Muhammad is the Messenger of Allaah, establishing the Salaah, paying the Zakaah, making pilgrimage to the House and fasting in Ramadaan.” [4] In another narration, “Islaam is built upon five: To worship Allaah and to reject anything along with Him... ” [5] Also in another narration, “Islaam is built upon five: The Tawheed of Allaah... ” [6]

Thus, “Testifying that none has the right to be worshipped except Allaah,” has the same meaning as, “To worship Allaah and to reject anything along with Him,” which has the same meaning as: “The Tawheed of Allaah,” So, it will be clear to the honourable reader that Tawheed is the essence of Islaam, and it is the starting and ending point for all goodness and excellence.

Linguistically, Tawheed means, “To make something one, or to assert the oneness of something.” [7] However, what we are concerned with here is the Sharee’ah or technical meaning of Tawheed which is, “To single out Allaah alone for worship.” [8]

Al-Bayjooree - rahimahullaah – said, “It is to single-out al-Ma’bood (the One to be worshipped - i.e. Allaah) with worship, along with belief and affirmation in the oneness and uniqueness of His Dhaat (Essence), Sifaat (Attributes) and Actions.” [9]

Shaykh al-Ghunaymaan - hafidhahullaah – said, “It is to single Him out with worship, with love, lowliness and submissiveness to Him, by complying with His commands and submitting to them.” [10]

The Division of Tawheed:

And Tawheed - with the Salaf and the Scholars of Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah - has three divisions.

’Allaamah as-Safaareenee (d.1112H) - rahimahullaah – said, “Know that Tawheed has three divisions:- Tawheedur-Ruboobiyyah (the Oneness of Allaah in His Lordship), Tawheedul-Uloohiyyah (to single-out Allaah alone for worship) and Tawheedul-Asmaa‘ was-Sifaat (the uniqueness of Allaah’s Names and Attributes).” [11]

“And Allaah has gathered these three divisions in His - the Most High saying,

“Lord of the heavens and the earth and all that is between them, so worship Him alone and be constant and patient in the worship of Him. Do you know of any who is similar to Him?” [12]” [13]

“So Tawheedur-Ruboobiyyah implies: A firm and definite belief that Allaah alone is the Creator, the Master and Owner, and the Command is for none but Him.” [14]

“And Tawheedul- Uloohiyyah is to single-out Allaah alone for all worship and not to worship anything along with Him, whether it be an angel, a Messenger, a Prophet, a pious person, a tree, a stone, the sun, the moon, or other than these.” [15]

“And Tawheedul-Asmaa‘ was-Sifaat is the uniqueness of Allaah - the Most High - with regards to His Names and His Attributes, by affirming that which Allaah has affirmed for Himself - whether in His Book or by the tongue of His Messenger sallallaahu ’alayhi wa sallam - without tahreef (distorting the Names and Attributes), ta’teel (denial of the Names and Attributes), takyeef (saying how they are), or tamtheel (making any resemblance with the creation).” [16]

Tawheed in Knowledge and Action:

The above three divisions of Tawheed have been grouped - by some of the Scholars - into two types:- the first type deals with knowing Allaah through His Names, Attributes and Actions (i.e. Tawheedul-Asmaa‘ was-Sifaat and Tawheedur-Ruboobiyyah), and the second deals with actualising and manifesting this Tawheed through singling out Allaah alone for worship (i.e. Tawheedul-Uloohiyyah). The first type of Tawheed is connected with knowledge, whilst the second type is connected with action.

Ibn al-Qayyim (d.756H) - rahimahullaah – said, “As regards the Tawheed which the Messengers called to and which the Books were sent down with, then it is of two types:- Tawheedul-Ma’rifah wal-Ithbaat (the Tawheed of knowledge and affirmation) and Tawheed fit-Talab wal-Qasd (the Tawheed of actions and intentions).

So the first type affirms the reality of the Dhaat (essence) of the Lord - the Most High - along with His Names, His Attributes, His Actions, His speaking in His Books and His speaking to whomsoever He wishes from His servants. It also affirms the all-embracing nature of His Predestination and Pre-Decree and His wisdom. The Qur‘aan has completely clarified this type of Tawheed - as occurs at the start of Soorah Hadeed and Soorah Taa Haa, at the end of Sooratul-Hashr, at the beginning of Soorah Sajdah, at the beginning of Soorah Aali-’Imraan and all of Sooratul-Ikhlaas, and other than these.

The second type: Then it is what is contained in Sooratul-Kaafiroon and contained in His - the Most High’s - saying: “Say: O people of the Book! Come to a word that is just and fair between us and you, that we shall worship none but Allâh and that we shall associate no partner along with Him, and that we shall not take others as lords beside Allâh. Then if they turn away, say: Bear witness that we are Muslims.” [17]

It is also contained at the beginning of Soorah Tanzeel and at the beginning, middle and end of Sooratul-Mu’min, and at the beginning and end of Sooratul-A’raaf and the greater part of Sooratul-An’aam. Indeed, every Soorah in the Qur‘aan comprises these two types of Tawheed, witnessing to it and calling to it.

Since the Qur‘aan either gives [i] information about Allaah, His Names, His Attributes, His Actions and His Sayings - which is Tawheedul-Ma’rifah wal-Ithbaat (the Tawheed of knowledge and affirmation); or [ii] it is a call to worship Allaah alone without any partner, and a rejection of whatever is worshipped besides Him - and this is Tawheedul-Iraadee at-Talabee (the Tawheed of actions and intentions); or [iii] it is a command to obey Him and to comply with His orders and prohibitions - so this is from the rights of Tawheed and is a completion of it; or [iv] it gives information about the people of Tawheed and how they were treated in this world and how they will be honoured in the Hereafter - and this is the reward for Tawheed; or [v] it gives information about the people of Shirk (associating partners along with Allaah) and the punishment they receive in this world and the torment they shall receive in the Hereafter - so this is the reward for those who abandon Tawheed.”[18]

TAWHEED – ITS IMPORTANCE IN THE QUR‘AAN:

Ibn Abil-’Izz - rahimahullaah – said, “So the Qur‘aan - all of it - is about Tawheed, its rights and its rewards; and about Shirk, its people and their punishments. Thus, “All praise belongs to Allâh, Lord of the worlds.” [19] is Tawheed (of knowledge). “The Most Merciful, the Bestower of Mercy.” is Tawheed (of knowledge). “The Master of the Day of Judgement.” is also Tawheed (of knowledge). “You alone do we worship and You alone do we seek aid and assistance from.” is Tawheed (of action). “Guide us to the Straight Path.” concerns Tawheed and asking for guidance to the path of the people of Tawheed, (which is), “The Path of those whom You have favoured. Not of those who have earned Your anger, nor of those who have gone astray.” those who have separated themselves from Tawheed.” [20] So Allaah begins this Soorah by first informing us about Himself - the Most Perfect (i.e. Tawheed of knowledge). Then after having knowledge of Allaah - the Most High - Allaah orders us with the Tawheed of action, “You alone do we worship.”

Likewise just as, “the great Qur‘aan opens with Tawheed it also ends with it. So the Qur‘aan opens with Sooratul-Faatihah, “All praise belongs to Allâh, Lord of the worlds.” and the great Qur‘aan ends with the Soorah, “Say: I seek refuge with the Lord of mankind.” [21]” [22]

Likewise, the greatest aayah in the Qur‘aan is Aayatul-Kursee. [23] Since this great aayah informs us - from start to finish - purely about Allaah’s Names, His Attributes and His Actions. So this further emphasises the importance of the Tawheed of knowledge.

Similarly, Sooratul-Ikhlaas - from start to finish - is concerned with the Tawheed of knowledge, whilst Sooratul-Kaafiroon is connected with the Tawheed of action. Indeed, the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) said about a man who was reciting al-Kaafiroon in the first rak’ah, “This is a servant who believes in his Lord.” Then the man recited al-Ikhlaas in the second, so he (sallallaahu ’alayhi wa sallam) said, “This is a servant who knows his Lord.” [25] The Prophet sallallâhu ’alayhi wa sallam said, “Say: He is Allaah, the One.” is equivalent to one third of the Qur‘aan. And “Say: O disbelievers...” is equivalent to a quarter of the Qur‘aan. [26]

What further demonstrates the importance of this Tawheed is the fact that the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam), “would begin his day with Tawheed (of knowledge and action), since he recited both Sooratul-Kaafiroon and Sooratul-Ikhlaas in the two rak’aat before Fajr (dawn prayer). [27] And he would end the night by reciting both of these Soorahs in his witr prayer. [28]” [29]

“Indeed, all of the Qur‘aan is about Tawheed.” [30] And Allaah - the Mighty and Majestic – says, “A book We have sent down, full of blessings, that men may ponder over its messages; and those who possess understanding may take them to heart.” [31]

TAWHEED – IT’S IMPORTANCE FROM THE SUNNAH:

And what proves the importance of Tawheed from the Sunnah is that the Chosen one - ’alayhis-salaatu was salaam - remained in Makkah thirteen years amongst the disbelievers, calling them to it, and saying to them,

“Say: None has the right to be worshipped except Allâh and thus be successful...” [32]

The Messenger of Allaah (sallallaahu ’alayhi wa sallam) said, “I have been sent close to the Hour, with the sword, so that none has the right to be worshipped except Allaah alone, without any partner. My sustenance is beneath the shade of my spear. And humiliation and ignominy is for whosoever opposes my command. And whosoever resembles a people is from them.” [33]” [34]

Similarly he would send his Companions to various communities ordering them with this Tawheed first - as was the case when he sent Mu’aadh Ibn Jabal to Yemen, saying, “Indeed you are going to a people from the People of the Book, so let the Tawheed of Allaah be the very first thing you call them to...” [35]

And just as the Prophet (sallallaahu ’alayhi wa sallam) started his Prophethood and teaching with the matter of Tawheed, then likewise, “He (sallallaahu ’alayhi wa sallam) mentioned the matter of Tawheed during his final illness from which he (’alayhis-salaatu was salaam died, when he said, “The curse of Allaah be upon the Jews and the Christians, for they took the graves of their Prophets as places of worship.” [36]” [37]

CLEARING A MISCONCEPTION:

Shaykhul-Islaam Ibn Taymiyyah (d.728H) said, “The Tawheed with which the Messengers came with comprises of affirming that Divinity and worship belong to Allaah alone, such that a person witnesses that none has the right to be worshipped except Allaah, and that none is worshipped except Him, nor depended upon other than Him, nor are alliances or enemies made except for Him, nor is an action done except for Him. This affirmation also covers those Names and Attributes which Allaah affirms for Himself, as Allaah - the Most High – says,

“And the Allaah to be worshipped is only one Allaah. None has the right to be worshipped except Him, the Most Merciful, the Bestower of Mercy.” [38]

And Allaah - the Most High – says, “Do not take two objects of worship. Indeed, Allâh is the only Deity to be worshipped, so fear Him.” [39].

And He - the Most High – says,

“Whosoever calls upon (i.e. supplicates or prays to) other than Allaah, for which he has no proof, then his reckoning is only with his Lord. Indeed, the disbelievers will not be successful.” [40]

Allaah - the Most High - also says,

“And ask those of our Messengers whom we sent before you, ‘Did We ever appoint objects of worship besides the Most Merciful?’ ” [41]

And Allaah informed us about every Prophet from amongst the Prophets that they called the people to the worship of Allaah alone, having no partner, as He said,

“Indeed there is an excellent example for you in Ibraaheem and those with him, when they said to their people, ‘Indeed we are free from you and whatever you worship besides Allaah. We have rejected you, and there has arisen between us and you, hostility and hatred forever - until you believe in Allaah alone.’” [42]

And Allaah said about the mushriks (pagan idolaters), “When it is said to them, ‘None has the right to be worshipped except Allaah’, they become arrogant. And they say: ‘Are we to abandon those deities that we worship because of a mad poet?’” [43] And this occurs a lot in the Qur‘aan.

And what is meant by Tawheed is not merely Tawheedur-Ruboobiyyah - the belief that Allaah alone is the Creator - which is what some of the people of Kalaam (speculative theology) and the Soofees think! So they think that if they affirm this type of Tawheed, along with its proofs, then they have affirmed the utmost limits of Tawheed and that if they bear witness to this and become absorbed in it, then they have absorbed themselves in the limits of Tawheed! However, this is not the case. Since even if a person agreed to those attributes which are befitting to the Lord, and declared Him free from everything He should be declared free from and affirmed that He alone is the creator of everything - then still such a person would not be a muwahhid (a person of Tawheed) until along with this, he witnesses that the only Ilaah (i.e. object of worship) is Allaah - (i.e. none has the right to he worshipped except Allaah alone) - affirming that Allaah alone is the Ilaah deserving off all worship, adhering to this worship and associating no partners with Him. Also affirming that this Ilaah (object of worship) is He who is deified and worshipped and who deserves worship and it is not that Ilaah merely with the meaning, “The One who has the power to create and originate.” [44]

So if an explainer (of the Qur‘aan) explains Ilaah to mean, “The One who has the power to create and originate” and believes that this is the most particular description of Ilaah and affirms this to be the limits of Tawheed - as is done by the people of Kalaam, and it is what they say from Abul-Hasan al-Ash’aree [45] and his followers - then they do not know the true reality of the Tawheed with which Allaah sent His Messengers, since the Arab mushriks used to agree that Allaah alone is the Creator of everything. Yet despite this, they were still mushriks, as Allaah - the Most High – says,

“Most people do not believe in Allaah except that they commit shirk (i.e. associate others with Him in belief and worship).” [46]

A group from amongst the Salaf (the first three generations of Muslims) said,

“If you ask them who created the Heavens and the earth, they will say, ‘Allaah’ - yet along with this, they worshipped others besides Him.” [47]

Allaah - the Most High – said,

“Say: ‘Whose is the earth and all that is in it, if you do indeed know?’ They will say, ‘It belongs to Allaah.’ Say, ‘Will you not then remember?’ Say, ‘Who is the Lord of the heavens and the Lord of the great Throne?’ They will say, ‘Allaah.’ Say, ‘Will you not then fear Him?’” [48] So not everyone who affirms that Allaah is the Lord of everything and is its Creator, will be a worshipper of Him to the exclusion of everything else - calling upon Him alone, hoping in Him alone, having fear of Him alone, forming allegiance and enmity for Him, obeying His Messengers, ordering what He orders and forbidding what He forbade.” [49]

CONCLUSION:

Shaykh ’Abdul-Qaadir al-Jeelaanee (d.561H) said, “So it is upon you to fear Allaah - the Mighty and Majestic - and not to fear anyone else except Him. Turn to Allaah - the Mighty and Majestic - for your every need, and rely upon Him alone - the Most High - seeking that which you need from Him alone. Do not rely upon anyone other than Allaah. And Tawheed - all is contained in Tawheed.” [50]

Footnotes:

[1] Sharhul-’Aqeedatit-Tahaawiyyah (p. 69)

[2] Fadl ’Ilmus-Salaf (p. 47) of al-Haafidh Ibn Rajab (d.795H)

[3] Related by ad-Daarimee (1/102) and Aboo Nu’aym in al-Hilyah (7/280), with a Saheeh isnaad.

[4] Related by al-Bukhaaree (1/49) and Muslim (no. 16) from ’Abdullaah ibn ’Umar - radiyallaahu ’anhu.

[5] Related by Muslim (no.20)

[6] Related by Muslim (no.19)

[7] Lisaanul-’Arab (3/450) of Ibn Mandhoor and also al-Hujjah fee Bayaanil-Mahajjah (1/305) of Abul-Qaasim al-Asbahaanee

[8] ad-Durarus-Sunniyyah (1/48) of Shaykh ’Abdur-Rahmaan Ibn Hasan

[9] Jawharut-Tawheed (p. 10)

[10] Sharh Kitaabut-Tawheed min Saheehil-Bukhaaree (1/38)

[11] Lawaami’ul-Anwaarul-Bahiyyah (1/128) of as-Safaareenee. For the division of Tawheed into three types, refer to: al-Ibaanah ’an Sharee’atil-Firqatin-Naajiyah (p. 693-694) of Ibn Battah (d.387H); Kitaabut-Tawheed of Ibn Mandah (d.395H) and al-Hujjah fî Bayaanil-Mahajjah (1/85, 1/111-113) of Abul-Qaasim al-Asbahaanee (d.535H)

[12] Soorah Maryam [19:65]

[13] Taqreebut-Tadmuriyyah (p. 110) of Shaykh Ibn al-’Uthaymeen

[14] Taqreebut-Tadmuriyyah (p. 110-111)

[15] Taqreebut-Tadmuriyyah (p. 112-113)

[16] Taqreebut-Tadmuriyyah (p. 116-117)

[17] Soorah aali-’Imraan [3:64]

[18] Madaarijus-Saalikeen (3/449-450) of Ibn al-Qayyim

[19] Sooratul-Faatihah [1:1] - and what follows is a completion of this Soorah

[20] Sharhul-’Aqeedatul-Tahaawiyyah (p. 89-90) of Ibn Abil-’Izz

[21] Sooratun-Naas [114:1]

[22] Hukmul-Intimaa‘ (p. 58) of Shaykh Bakr Aboo Zayd - slightly adapted

[23] Related by Muslim (no. 1768) from ’Ubayy Ibn Ka’b - radiyallaahu ’anhu.

[24] Refer to Majmoo’ul-Fataawaa (1/54) of Ibn Taymiyyah

[25] Hasan: Related by at-Tahawee and Ibn Hibbaan. Al-Haafidh Ibn Hajar authenticated it in Ahadeethul-’Aaliyaat (no. 16).

[26] Saheeh: Related by at-Tabaraanee in al-Mu’jamul-Kabîr (3/203/2) from Ibn ’Umar - radiyallaahu ’anhu. It was authenticated by al-Albaanee in Saheehul-Jaami’ (no. 4405).

[27] Related by Muslim (no.726)

[28] Saheeh: Related by an-Nisaa‘ee and al-Haakim, who declared it saheeh.

[29] at-Tawheed wa Atharahu fee Hayaatil-Muslim (p. 30) of Ahmad Ibn Ibraaheem al-Hareeqee.

[30] Madaarijus-Saalikeen (3/450)

[31] Soorah Saad [38:29]

[32] Related by Ahmad (4/63)

[33] Saheeh: Related by Ahmad (no. 5114) and Ibn ’Asaakir (19/96/1), from Ibn ’Umar - radiyallaahu ’anhu. It was authenticated by al-Haafidh al-’Iraaqee in Takhreejul-Ihyaa‘ (3/42), and al-Haafidh Ibn Hajr in in Fathul-Baaree (10/222).

[34] at-Tawheed wa Atharahu fee Hayaatil-Muslim (p. 29)

[35] Related by al-Bukhaaree (1/13) and Muslim (1/272), from Ibn ’Abbaas - radiyallaahu ’anhu.

[36] Related by al-Bukhaaree (1/532) and Muslim (5/16)

[37] at-Tawheed wa Atharahu fee Hayaatil-Muslim (p. 29)

[38] Soorah aali-’Imraan [3:163]

[39] Sooratun-Nahl [16:51]

[40] Sooratul-Mu‘minoon [23:117]

[41] Sooratuz-Zukhruf [43:45]

[42] Sooratul-Mumtahinah [60:4]

[43] Sooratus-Saaffaat [37:35-36]

[44] This is the saying of the people of Kalaam, such as Aboo Mansoor al-Maatureedee in at-Tawheed (pp. 20-21), and for a similar misconception refer to Fee Dhilaalil-Qur’aan (5/2707) of Sayyid Qutb. Compare this meaning of Ilaah with the correct explanations of great mufassirs - such as Imaam Ibn Jareer at-Tabaree in his Tafseer (20/102) and Ibn Katheer in his Tafseer (3/398) - which is: the one who is who is worshipped and who alone deserves to be worshipped.

[45] He is Abul-Hasan ’Alee Ibn Ismaa’eel al-Asharee (d.324H) - to whom the Ash’ariyyah ’aqeedah is incorrectly ascribed, since he abandoned this ’aqeedah - and that of the Mu’tazilah previously - for the ’aqeedah of the Salaf - as is mentioned by Ibn Katheer in Tabaqaatush-Shaafi’iyyah and shown by his last book: al-Ibaanah ’an Usoolid-Diyaanah.

[46] Soorah Yoosuf [12:106]

[47] This is the saying of lbn ’Abbaas and others - as occurs in Jaami’ul-Bayaan ’an Ta’weelul-Qur‘aan (13/50-51) of at-Tabaree.

[48] Sooratul-Muminoon [23:84-87]

[49] Majmoo’ul-Fataawaa (3/97-105) of Ibn Taymiyyah

[50] Futoohul-Ghayb (p. 176)


Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
ARCHIVES


LINKS