Thursday, July 05, 2007


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.


Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-ciri Khawarij (2)

19 January, 2007

Disusun oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri

Berikut ini lanjutan fatwa para ulama tentang masalah Takfir dan Ciri-ciri khawarij. Insya Alloh pada kesempatan ini, akan kami ketengahkan keterangan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh Alu Syaikh dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahumalloh.

***

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh

Dalam satu majelis di Masjidil Haram, beliau menggariskan metode interaksi dengan orang-orang yang menempuh jalan hidup ekstrem ini. Beliau berkata: “Kebanyakan orang yang menganut pemikiran ini, adalah orang-orang bodoh yang diperalat, disebabkan ilmu dan pengalaman mereka masih dangkal. Mereka dijangkiti pemikiran takfir (pengafiran) ini dari sekelompok orang yang menjadikan metode ini, sebagai batu loncatan untuk merealisasikan rencana jahat mereka. Mereka mengusung pemikiran ini, guna mengelabui orang-orang yang dangkal ilmu, pemahaman dan pengalaman. Kewajiban setiap muslim yang menemui orang lain yang meyakini pemikiran ini, hendaknya mengingatkan, memaparkan kebatilan ideologi dan alur pikirannya. Bila ia sadar dan segera kembali kepada akal sehatnya, maka inilah yang diharapkan. Tapi kalau keras kepala, ngotot pada pendiriannya, maka jangan sampai orang-orang tersebut dibiarkan leluasa menodai generasi muda kita dan agamanya. Ideologi takfir merupakan satu dosa dan kesalahan, di belakangnya ada skenario perusakan umat, mereka menempuh segala macam cara untuk mewujudkan rencananya.

Saya menasihati saudara-saudaraku agar senantiasa mewaspadai propaganda yang mengafirkan komunitas muslim, mengajak kepada perlawanan terhadap pemerintah dan angkat senjata melawan kaum muslimin. Saya juga mengingatkan orang yang berfatwa kepada mereka agar takut kepada Alloh, tentang dirinya, kaum muslim serta masyarakat muslim. Dia harus mengetahui bahwa jalan yang sedang ia tempuh adalah jalan ahlul bid’ah.

Salafush Sholeh begitu jauh dan terhindar dari jalan yang salah ini. Mereka senantiasa menganjurkan masyarakat agar tetap setia dan taat serta sabar menghadapi pemerintah, meski mereka berbuat kecurangan maupun kezaliman. Mereka juga mewanti-wanti agar tidak melawan penguasa, demi memelihara darah umat, kebulatan tekad dan menyatukan barisan. Hendaknya kalian bertakwa kepada Alloh pada umat Islam, waspadailah kemurkaan Alloh dan siksa-Nya. Para mufti (tanpa dasar ilmu), yang tidak bertaubat, umat Islam harus berhati-hati dan memperingatkan umat serta menjauhi mereka. Semoga Alloh melindungi umat islam dari kejelekan dan fitnah, baik yang nampak maupun tersembunyi.” (Harian ‘Ukadl edisi: 776 tanggal 4-6-1424 H).

Perkataan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

Sudah diketahui bahwa vonis kafir harus melalui dua tahapan penting:

Pertama:
Adanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut merupakan kekufuran, mengeluarkan dari agama. Sebab ada dalil-dalil yang menyebut satu perbuatan sebagai kekufuran, namun yang dimaksud bukan kekufuran yang menyeret pelakunya keluar dari agama. Maka anda harus tahu bahwa dalil ini menunjukkan bahwa amalan ini atau pelanggaran ini merupakan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama.

Kedua:
Aplikasi dalil tersebut pada individu yang melakukan perbuatan yang menyatakan dalam dalil sebagai kekufuran. Pasalnya, tidak setiap pelaku perbuatan yang mengafirkan menjadi kafir, sebagaimana ditunjukkan dalam kandungan dalil Al Quran maupun As Sunnah. Alloh berfirman:

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ

“Barang siapa kafir kepada Alloh sesudah beriman (dia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Alloh menimpanya dan baginya azab yang pedih.” (QS. An Nahl: 106)

Kalau ada seseorang dipaksa untuk berbuat atau mengatakan satu kekufuran dan terpaksa melakukannya, berdasarkan kandungan Al Quran dia tidak kafir kendati perbuatannya kufur. Misalnya: dia dipaksa untuk bersujud kepada berhala, kemudian ia melakukannya, perbuatan sujud kepada berhala adalah kufur, tidak ada perdebatan, namun dia terpaksa melakukannya, sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanan, ia tetap yakin bahwa berhala tersebut tidak berhak untuk disembah, dan bersujud kepadanya adalah perbuatan kufur, maka dia terbebas dari apapun.

Contoh lain: ada seorang yang dipaksa untuk mengucapkan perkataan kufur, sehingga ia mengatakan: Trinitas (Alloh adalah Tuhan ketiga dari tiga tuhan). Apakah orang ini kafir, sedangkan hatinya yang tetap tenang dan yakin dengan keimanannya? Jawabannya: tidak.

Adapun dalil dari As Sunah, adalah: Nabi pernah bercerita tentang kegembiraan Alloh terhadap taubat seorang hamba, satu kegembiraan yang melebihi kegembiraan seseorang yang kehilangan unta tunggangannya yang membawa perbekalan makan dan minumannya, kemudian lelaki itu berusaha mencarinya, tapi pencariannya tidak membuahkan hasil, akhirnya dia berbaring di bawah sebuah pohon, menanti ajal. Pada Saat kritis tersebut, tiba-tiba untanya berdiri di hadapannya, ia pun langsung meraih tali kendalinya, seraya berkata (karena luapan kegembiraan): “Ya Alloh Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.” Ia salah ucap, karena hanyut oleh luapan kegembiraan (HR. Muslim no: 2747 dari hadits Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu). Apakah orang ini kafir? Jawabannya: Tidak.

Demikian pula seorang banyak berbuat maksiat, namun ia merasa takut akan menerima siksaan Alloh, sehingga mengatakan kepada keluarganya: “Jika aku mati, bakarlah jasadku, kemudian tumbuk dan sebarkan (abunya) di lautan. Demi Alloh kalau Rabbku berhasil menemukan jasadku, niscaya aku akan disiksa dengan siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada siapa pun dari kalangan makhluk.” Akhirnya keluarganya pun menjalankan wasiatnya. Kemudian Alloh menghimpun seluruh bagian jasadnya, dan bertanya kepadanya. Ia mengaku: bahwa ia melakukannya karena takut kepada Alloh, (dia mengira bahwa Alloh tidak kuasa untuk menghimpun kembali jasadnya). Alloh mengampuninya, meskipun keraguannya akan kekuasaan Alloh merupakan kekufuran, namun dia tidak ingin menyifati Alloh dengan sifat tak berdaya, tapi ia melakukannya karena merasa takut kepada-Nya. Dia mengira bahwa pelarian yang dia lakukan akan menyelamatkannya dari siksa Alloh.

Dengan demikian, wahai saudara-saudaraku, harus ada dua hal penting dalam pengkafiran:

Pertama:
Adanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut kufur, mengeluarkan pelakunya dari agama.

Kedua:
Hukum kekufuran tersebut telah relevan dengan pelaku tersebut. Sebab bisa jadi ada padanya penghalang dari vonis kafir, meskipun ucapan atau perbuatannya kufur. Perkara-perkara yang menghalangi penjatuhan vonis kafir telah gamblang dijelaskan oleh syariat. Alhamdulillah, jika dua syarat ini tidak terpenuhi dan ada orang mengafirkan saudaranya, maka dia sendiri yang kafir. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa orang yang memanggil orang lain dengan ucapan “wahai orang kafir” atau dengan “wahai musuh Alloh” padahal tidak demikian adanya, maka vonis ini menjadi bumerang bagi dirinya, dialah yang kafir, dialah yang musuh Alloh. Kalau ada orang yang bertanya, bagaimana mungkin dia yang menjadi kafir, padahal dia mengafirkan orang tersebut karena rasa kecemburuannya untuk Alloh?

Kita jawab: bahwa dia mengafirkan karena mendaulat dirinya sebagai pembuat syariat bersama Alloh, dengan mengklaim orang tersebut telah kafir, padahal Alloh belum mengafirkannya, ia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan Alloh dalam pengafiran. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain: bisa jadi Alloh mengecap hatinya, sehingga akhir kehidupannya bermuara pada kekufuran kepada Alloh, dengan nyata dan jelas. Sehingga masalah ini benar-benar berbahaya, dan kita tidak berhak untuk mengafirkan orang yang belum dikafirkan oleh Alloh dan Rasul-Nya.

Sebagaimana kita juga tidak berwenang untuk mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, juga menghalalkan sesuatu yang tidak dihalalkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, juga mewajibkan hal yang tidak wajibkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Akan semakin fatal, jika pengafiran disematkan pada pemimpin umat ini (ulul amri), yang terdiri dari para ulama dan pemerintah, berdasarkan firman Alloh:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rasul dan ulul amri di antara kamu.” (QS. An Nisaa’: 59)

Menurut ulama tafsir, ulul amri adalah ulama dan umara. Ulama mengendalikan perkara umat dalam aspek syariat dan mendakwahkannya, sedangkan pemerintah memegang kendali umat dalam pelaksanaan syariat (eksekutor), dan memaksa rakyat untuk mematuhinya.

Bila klaim takfir menimpa mereka, maka tidak berpengaruh buruk pada pribadi mereka, sebab mereka memahami diri mereka masing-masing, lontaran tersebut tidak membuat mereka pusing. Sungguh ucapan yang lebih kotor dari sekedar pengafiran pernah dilontarkan kepada sosok yang lebih mulia dari mereka., yaitu para Nabi yang dikatakan kepada mereka, seperti yang dikisahkan dalam firman Alloh:

كَذَلِكَ مَآأَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ

“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka melainkan mereka mengatakan ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’” (QS. Az Dzaariyaat: 52)

Pengafiran penguasa mengandung dua dampak negatif yang sama-sama besar: Dampak secara syariat (agama) dan sosial.

Pertama: Kerusakan dari sisi agama: Ulama yang telah diklaim kekafirannya, tidak akan dimanfaatkan ilmunya oleh masyarakat, minimal akan timbul keraguan atau kecurigaan terhadap mereka. Sehingga orang yang telah mengafirkan ulama, menjadi penghancur syariat Islam. Lantaran syariat islam ditimba dari mereka, para ulama. Dan mereka adalah pewaris para nabi, sedangkan para nabi tidak pernah mewariskan dirham ataupun dinar, mereka hanya mewariskan ilmu, barang siapa yang mendapatkannya, maka ia telah mengantongi bagian yang melimpah dari warisan mereka.

Kedua: Adapun pengafiran pemerintah, maka menyimpan kerusakan sosial yang besar yaitu kekacauan, peperangan saudara, yang tidak ada yang mengetahui penghujungnya melainkan Alloh. Karena itu, kita harus waspada terhadap masalah ini. Orang yang mendengar lontaran vonis kafir, hendaknya menasihati pengucapnya dan menakutinya dengan Alloh subhanahu wa ta’ala. Dan mengatakan kepadanya, jika engkau melihat ada satu perbuatan kekufuran yang dilakukan seorang ulama’, maka kewajiban anda adalah menemuinya dan kemudian berdiskusi dengannya seputar masalah tersebut, hingga jelas duduk permasalahannya bagi anda. (Fitnatut Takfir hal: 65, penyusun: Ali bin Husain Abu Luz).

–bersambung–




Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
Monday, July 02, 2007


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.

Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-ciri Khawarij (1)

19 January, 2007

Disusun Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri

Penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi

Tidak selayaknya bagi anda wahai faqih (ahli fikih), untuk tergesa-gesa mengafirkan seorang muslim, kecuali dengan bukti yang nyata. Sebagaimana anda tidak boleh berkeyakinan kearifan dan kewalian seorang yang telah nyata kesesatannya, tersingkap batin dan kemunafikannya. Tidak boleh dilakukan ini ataupun itu, yang benar adalah selalu bersikap adil, yaitu: orang yang telah dinilai oleh kaum muslimin sebagai orang saleh dan baik, maka dia demikian adanya karena mereka adalah para saksi Alloh di dunia, dan orang yang dinilai oleh umat Islam sebagai orang yang durhaka, munafik, orang batil, maka dia demikian adanya.

Sedangkan orang yang divonis sesat oleh satu kelompok, sedangkan kelompok lain memuji dan mengagungkannya, dan kelompok lain lagi enggan untuk berkomentar dan berhati-hati, tidak berani untuk mendiskreditkannya, maka kasus seperti ini termasuk polemik yang harus dijauhi, duduk masalahnya kita serahkan kepada Alloh dan dimintakan ampun baginya secara umum. Sebab keislamannya diyakini keberadaannya, sedangkan kesesatannya masih diragukan. Dengan ini anda akan hidup tenang, hati anda suci dari rasa iri terhadap kaum muslimin.

Ketahuilah bahwa seluruh ahlul kiblah (kaum muslimin dengan berbagai alirannya), baik mukmin, fasik, sunni maupun seorang ahli bid’ah -selain para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam - tidak pernah ada kesepakatan (ijma’) tentang seseorang muslim, bahwa ia sebagai orang yang berbahagia lagi selamat (dari neraka) dan tidak juga bahwa ia sebagai sosok yang celaka lagi binasa

Sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq seorang tokoh tanpa tandingan dari umat ini, anda tahu bahwa manusia tidak sepakat tentang beliau. Demikian juga halnya Umar, Utsman, Ali, Ibnu Zubair, Al Hajjaj, Al Makmun, Bisyr Al Mirrisi, Imam Ahmad, Syafii, Bukhari, An Nasa’i dan seterusnya, baik dari figur-figur baik maupun tokoh-tokoh jahat hingga hari ini. Tidak ada seorang panutan dalam kebaikan kecuali pasti ada oknum-oknum dari orang-orang bodoh dan ahli bid’ah yang mencela dan menjelek-jelekannya. Juga tidak ada seorang gembong dalam aliran Jahmiyyah maupun Syi’ah, melainkan pasti ada sekelompok orang yang akan membela, dan melindungi, serta menganut pemahamannya, tentunya atas dorongan hawa nafsu dan kebodohan. Tolok ukur sebenarnya adalah pendapat mayoritas kaum muslimin, yang bebas dari pengaruh hawa nafsu dan kebodohan (netral), yang berhati-hati lagi berilmu.

Cermatilah wahai hamba Alloh, sekte Al Hallaj, yang dia adalah pemuka Qaramithah (kebatinan) dan penjaja kekufuran, berbuat adillah dan berhati-hatilah dalam bersikap, introspeksi diri anda, jika kemudian terbukti menurut anda bahwa perangai orang tersebut adalah perangai musuh Islam, gila pangkat, gandrung pada popularitas, baik dengan cara benar maupun salah, maka jauhilah ajarannya. Kalau terbukti menurut anda, -semoga Alloh melindungi kita-, bahwa dia adalah seorang yang menyebarkan kebenaran lagi mendapatkan petunjuk, maka perbaharuilah keislaman anda, mintalah kepada Robbmu agar memberikan taufik-Nya kepada anda untuk menuju kepada kebenaran, memantapkan hati anda di atas agama-Nya. Sesungguhnya hidayah adalah cahaya yang dilontarkan pada qalbu seorang muslim, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan Alloh. Jika anda diliputi keraguan, belum mengetahui hakikat orang ini, dan anda cuci, merasa berlepas diri dari tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepadanya, dengan ini anda telah menyamankan diri anda, dan Alloh tidak akan bertanya kepada anda tentang orang ini. (Siyar A’lamin Nubala’ 14: 343).

Penjelasan Hai’ah Kibaril Ulama’

Segala puji hanya milik Alloh, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasululloh, keluarga, dan sahabatnya serta orang yang mengikuti jalan beliau. Amma ba’du:

Majlis Hai’ah Kibaril Ulama’ pada rapat ke-49, yang berlangsung di Taif mulai 2/4/1419 H, telah mempelajari berbagai tragedi yang terjadi di banyak negara-negara islam dan lainnya, yang berupa pengafiran, dan pengeboman, serta kerugian yang ditimbulkan oleh hal tersebut, berupa pembunuhan dan pengrusakan sarana umum.

Menimbang betapa bahayanya perkara ini, dan akibatnya, yang berupa pembunuhan orang tak bersalah, pengrusakan harta benda yang dilindungi, menimbulkan rasa takut, mengganggu stabilitas keamanan dan kedamaian masyarakat, maka Majelis menganggap perlu untuk mengeluarkan penjelasan tentang hukum tindakan tersebut, dalam rangka menasihati untuk Alloh dan untuk hamba-Nya, menunaikan tanggung jawab, menghilangkan kesamar-samaran dalam pemahaman, maka kami katakan –wa billahit taufiq-:

Pertama:
Takfir (pengafiran) adalah hukum syar’i, rujukannya adalah Alloh dan Rosul-Nya, sebagaimana halnya menghalalkan, mengharamkan dan mewajibkan adalah hak Alloh dan Rosul-Nya, demikian pula dengan pengafiran.

Tidaklah setiap perkataan atau perbuatan yang disifati dengan kekufuran adalah kufur besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Dan karena rujukan hukum pengafiran adalah Alloh dan Rosul-Nya, maka tidak boleh bagi kita untuk mengafirkan, kecuali orang yang jelas-jelas telah dikafirkan oleh Al Quran dan As Sunnah, tidak cukup hanya sekedar syubhat atau prasangka belaka, karena hal ini memiliki konsekuensi hukum yang besar.

Apabila hukum hudud (pidana) harus dibatalkan dengan sebab adanya syubhat,–walaupun akibatnya lebih ringan dari pada takfir-, maka takfir lebih pantas untuk dibatalkan dengan sebab adanya syubhat.

Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dari menghukumi kafir orang yang bukan kafir, beliau bersabda:

أيما امرئ قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: ‘wahai orang kafir’, maka pengafiran itu pasti mengenai salah seorang dari mereka, jika betul apa yang ia katakan (maka habis perkara-pent) jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. Bukhory, pada kitab: Al Adab Bab: “Barang siapa yang mengafirkan saudaranya tanpa ada alasan, maka ia seperti ucapannya sendiri” no: 6104, dan Muslim, pada kitab Al Iman, Bab: “Penjelasan tentang keimanan seseorang yang mengatakan kepada saudaranya orang muslim, wahai orang kafir” no: 60)

Kadang ada dalam Al Quran dan As Sunnah dalil yang dapat dipahami bahwa perkataan atau perbuatan atau keyakinan tertentu adalah kekafiran, akan tetapi pelakunya tidak kafir dengan sebab adanya penghalang dari pengafiran.

Hukum ini selayaknya hukum-hukum lainnya, tidak dapat sempurna kecuali jika terpenuhi sebab-sebab dan syarat-syaratnya, serta telah hilang penghalangnya, seperti dalam hukum warisan, sebabnya adalah kekerabatan –sebagai contoh-, kadang kala ia tidak dapat mewarisi, disebabkan adanya penghalang, yaitu perbedaan agama, demikian juga halnya dengan pengafiran, seorang mukmin dipaksa untuk berbuat kekafiran, maka ia tidak kafir karenanya.

Seorang muslim kadang kala mengucapkan kata-kata kafir, karena hanyut oleh kegembiraannya atau karena marah, atau yang lainnya, maka dia tidak dikafirkan karenanya, karena tidak sengaja mengucapkannya, seperti dalam kisah orang yang mengatakan: “Ya Alloh Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu, dia salah (ucap) karena sangat gembira.” (HR. Muslim, pada kitab: At Taubah, Bab: “Anjuran untuk bertaubat dan gembira dengan taubat” no: 2747)

Tergesa-gesa dalam mengafirkan, akan mengakibatkan banyak masalah, seperti penghalalan darah dan harta, mencegah hak warisan, pembatalan pernikahan, dan hukum-hukum lainnya bagi orang murtad. Lalu bagaimana seorang mukmin berani untuk melakukannya, hanya karena ada sedikit syubhat?!

Dan apabila pengafiran itu ditujukan kepada pemerintah, maka ini lebih dahsyat akibatnya, karena akan mengakibatkan perlawanan, pemberontakan, kekacauan, pertumpahan darah, kerusakan pada masyarakat dan negeri. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk melawan pemerintah, beliau bersabda:

إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم فيه من الله برهان

“… kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki bukti dari Alloh.”

Sabda beliau: “kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata.” memberi faedah bahwa tidak cukup sebagai alasan prasangka dan isu, dan sabda beliau “kekufuran” bahwa tidak cukup sebagai alasan, perbuatan kefasikan –walaupun besar- seperti kezaliman, minum khamar, bermain judi atau mengerjakan yang haram. Dan sabda beliau “yang nyata” bahwa tidak cukup sebagai alasan, kekafiran yang tidak jelas atau nampak. Dan sabda beliau “dan kalian memiliki bukti dari Alloh” yaitu harus ada dalil yang jelas, yang shohih, berhubungan langsung dengan permasalahan, sehingga tidak cukup dengan dalil yang lemah dan tidak berhubungan langsung. Dan sabda beliau “dari Alloh” menunjukkan bahwa tidak ada artinya perkataan seorang ulama’, bagaimanapun tingkat ilmu dan amanahnya, jika perkataannya itu tidak dilandasi oleh dalil yang jelas dan shohih dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan akan bahayanya perkara ini.

Kesimpulannya: tergesa-gesa dalam mengafirkan sangat besar bahayanya, karena firman Alloh ta’ala:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُون

“Katakanlah sesungguhnya Rabbku mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, dan permusuhan tanpa kebenaran, dan untuk kamu berbuat syirik kepada Alloh yang tidak pernah diturunkan keterangan padanya, serta untuk kamu berkata atas nama Alloh dengan apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raaf: 33)

Kedua:
Akibat yang dihasilkan oleh keyakinan menyeleweng ini, berupa penghalalan darah, pelecehan kehormatan, perampasan harta benda, baik milik perorangan atau umum, peledakan pemukiman dan kendaraan, pengrusakan sarana umum, seluruh perbuatan ini dan sejenisnya seluruh kaum muslimin sepakat akan keharamannya dalam syariat. Karena semuanya mengandung pengrusakan harta benda, mengganggu stabilitas keamanan, dan kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram, serta pengrusakan sarana umum, yang dibutuhkan oleh setiap orang.

Islam telah melindungi harta, kehormatan, dan badan kaum muslimin, serta mengharamkan untuk dilanggar, dan sangat menekankan akan keharamannya, bahkan wasiat akhir yang disampaikan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu haji wada’, beliau bersabda:

فإن دماءكم وأموالكم عليكم حران كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا إلى يوم تلقون ربكم ألا هل بلَّغت؟ قالوا: نعم، قال: اللهم اشهد. متفق عليه

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram di antara kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di bulan ini, dan di tempat ini,” kemudian beliau bersabda: “Apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Ya Alloh saksikanlah.” (Telah lalu takhrij hadits ini)

Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

كل المسلم على المسلم حرام ماله وعرضه ودمه

“Setiap orang muslim diharamkan atas muslim yang lainnya, darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2564)

Dan beliau juga bersabda:

اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة

“Hati-hatilah kalian dari kezaliman karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan di hari kiamat.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2578)

Dan Alloh subhanahu wa ta’ala telah mengancam orang yang membunuh jiwa yang dilindungi dengan seberat-berat ancaman, Alloh berfirman tentang perbuatan membunuh seorang mukmin:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam dia kekal di dalamnya, dan Alloh murka kepadanya serta melaknatnya dan Dia menyediakan baginya adzab yang pedih.” (QS. An-Nisa’: 93)

Dan Alloh berfirman tentang perbuatan membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan orang muslim, yang dilakukan dengan tidak sengaja:

فَإِنْ كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنُُ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

“Jika yang terbunuh itu dari orang-orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan kalian maka si pembunuh itu membayar diyah kepada keluarga yang terbunuh itu dan memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS. An-nisa’: 92)

Apabila seorang kafir yang memiliki perjanjian damai bila dibunuh dengan tidak sengaja, si pembunuh harus membayar diyah dan kafarohnya, maka bagaimana halnya jika dia dibunuh dengan sengaja? maka kejahatannya lebih besar dan dosanya lebih berat.

Dalam hadits shohih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau pernah bersabda:

من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan, maka dia tidak akan dapat mencium bau surga.” (HR. Bukhory pada kitab: Al Jizyah, Bab: “Dosa pembunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dengan tanpa alasan” no: 3166)

Ketiga:
Sesungguhnya Majelis, di samping menjelaskan hukum mengafirkan manusia tanpa bukti dari Al Quran dan As Sunnah dan bahaya mengucapkan hal ini, dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, berupa kejelekan dan pengaruh buruk, Majelis juga menyatakan kepada dunia internasional, bahwa agama Islam berlepas diri dari ideologi menyeleweng ini, dan tragedi yang terjadi di sebagian negara, berupa penumpahan darah orang-orang yang tak berdosa, peledakan rumah-rumah, kendaraan, prasarana umum dan perorangan, serta pengrusakan kantor instansi pemerintahan, adalah perbuatan jahat dan islam berlepas diri darinya.

Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Alloh dan hari kemudian, berlepas diri darinya dan sesungguhnya tindakan tersebut adalah perbuatan orang yang telah menyimpang pemikirannya, yang sesat akidahnya, sehingga hanya dialah yang menanggung dosa dan kejahatannya. Tindakannya tidak bisa anggap bagian dari ajaran agama Islam, dan juga tidak dapat dinisbatkan kepada kaum muslimin yang menjalankan ajaran Islam, yang berpegang dengan Al Quran dan As Sunnah. Tindakan tersebut murni sebagai tindak pengrusakan dan kejahatan yang ditentang oleh syariat islam dan fitrah. Oleh karena itu banyak dalil-dalil syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan kita dari berkawan dengan pelakunya.

Alloh berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي اْلأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan di antara sebagian manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dia persaksikan kepada Alloh atas kebenaran isi hatinya padahal dia penentang yang sangat keras, dan apabila dia berpaling dia berjalan di atas bumi dengan membuat kerusakan di dalamnya dan membinasakan tanaman serta hewan ternak, sedang Alloh tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al Baqoroh: 204-206)

Dan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, adalah saling nasihat-menasihati dengan kebenaran, bahu membahu di atas kebaikan, ketakwaan, amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara yang bijak, pelajaran yang baik, dan diskusi yang kondusif, sebagaimana yang Alloh subhanahu wa ta’ala firmankan:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada Alloh sesungguhnya Alloh sangat pedih siksaan-Nya.” (QS. Al Maaidah: 2)

Dan Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ

“Dan orang-orang beriman yang laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mentaati Alloh dan Rasul-Nya, merekalah yang mendapat rahmat Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 71)

Dan Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

َالْعَصْرِ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر

“Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al Ashr: 1-3)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدين النصيحة. قلنا: لمن؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

“Agama itu adalah nasihat.” Kami (para sahabat) berkata: “Untuk siapa ya Rasulullah?” beliau bersabda: “Untuk Alloh, kitab, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin -secara umum-.“ (Telah lalu takhrij hadits ini)

Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مثل المؤنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Permisalan kaum mukminin dalam sikap cinta mencintai, kasih mengasihi dan persatuan mereka, bagaikan satu tubuh, jika salah satu organnya mengeluh sakit, niscaya seluruhnya turut demam dan gelisah.” (Telah lalu takhrij hadits ini). Ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali.

Kami mohon kepada Alloh dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar menjaga seluruh kaum muslimin dari kejelekan, dan menunjukkan semua pemimpin kaum muslimin kepada setiap hal yang mendatangkan kebaikan bagi rakyat dan negara, dan semoga Alloh menghancurkan kerusakan dan pelakunya. Dan semoga Alloh menolong agama dan meninggikan kalimat-Nya, serta memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, dan menolong kebenaran dengan mereka, sesungguhnya Dialah Penolong dan Yang Kuasa atasnya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan atas Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Hai’ah Kibaril Ulama’

Ketua Majlis:
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz.

Anggota:
1. Muhammad bin Ibrahim bin Jubair.
2. Rasyid bin Sholeh bin Khunain.
3. Sholeh bin Muhammad Al Luhaidan.
4. Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan.
5. Abdullah bin Abdir Rahman Al Ghudaiyyan.
6. Abdullah bin Sulaiman Al Mani’.
7. Hasan bin Ja’far Al ‘Atmy.
8. Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam.
9. Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin.
10. Muhammad bin Abdillah As Subaiyyil.
11. Nashir bin Hamad Ar Rasyid.
12. Abdil Aziz bin Abdillah bin Muhammad Alus Syeikh.
13. Abdur Rahman bin Hamzah Al Marzuqy.
14. Muhammad bin Sulaiman Al Badr.
15. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh.
16. Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid.
17. Muhammad bin Zaid Al Sulaiman.
18. Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turky.
19. Dr. Sholeh bin Abdir Rahman Al Athram.
20. Dr. Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman.

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan: Kalau demikian adanya, bagaimana cara menanggulangi permasalahan orang-orang yang ekstrem?

Jawaban: Melalui pendidikan dan pembinaan dari para ulama’. Mereka, jika melihat ada seorang yang menambah dan berbuat bid’ah, maka ia menerangkan hukumnya. Misalnya: orang yang mengafirkan pelaku maksiat -dan ini adalah ajaran Khawarij, mereka adalah satu kaum yang mengafirkan orang dengan alasan maksiat- dia harus dididik agar berbuat adil (tengah-tengah), pelaku maksiat memiliki hukum sendiri, dan orang musyrik dan mubtadi’ memiliki hukum tersendiri. Mereka diajari, dibimbing menuju kebaikan, agar ia mendapatkan hidayah, memahami hukum-hukum syariat, meletakkan segala sesuatu pada posisinya. Sehingga ia tidak mendudukkan pelaku maksiat pada kursi orang kafir, tidak meletakkan orang kafir pada kedudukan pelaku maksiat. Para pelaku maksiat yang dosanya di bawah kadar syirik, seperti penzina, pencuri, penggunjing dan pengadu domba, pemakan riba, mereka memiliki hukum tersendiri, dan mereka bila mereka mati sedangkan belum bertaubat, maka mereka berada di bawah kehendak Alloh. Orang yang musyrik, yang menyembah penghuni kubur, meminta tolong pada mereka, bukan kepada Alloh, memiliki hukum tersendiri, yaitu ia telah kufur kepada Alloh. Orang yang mencela agama atau memperolokkan ajaran Islam, ada hukumnya tersendiri, yaitu ia telah kufur kepada Alloh.

Manusia berbeda-beda kedudukannya, dan beragam, tidak berada pada satu tingkatan. Mereka harus didudukkan pada tempatnya masing-masing, dan diberi hukum yang sesuai, dengan dasar pengalaman dan ilmu, bukan dengan hawa nafsu maupun kebodohan, namun berdasarkan dalil-dalil syar’i, dan ini adalah tanggung jawab ulama’. Ulama berkewajiban mengarahkan umat, menunjukkan jalan bagi para generasi muda yang rawan dengan sikap ekstrem, anarki dan teledor, mereka harus dididik dan diarahkan, sebab ilmu mereka masih dangkal, mereka harus dibimbing menuju al haq. (Majmu Fatawa Wa Maqolat Mutanawwi’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8:236).

-bersambung-




Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.

JANGAN SALAH FAHAM

Salah faham adalah buah penyakit akibat dangkalnya/kurangnya ilmu ,serta keterburu-buruan dalam menyimpulkan sesuatu tanpa tabayyun terlebih dahulu,banyak akibat yang di timbulkan oleh sikap yang satu ini, sebab dalam hal apapun segala sesuatu haruslah di dasari dengan ilmu apalagi sesuatu itu erat kaitannya dengan masalah agama ,terlebih masalah-masalah yang urgent dalam ISLAM ,maka sungguh agung bab yang ditulis oleh Imam al-Bukhari dalam bab"AL ILMU QABLAL QAUL WAL 'AMAL bahwasannya ilmu itu di dahulukan sebelum perkataan dan perbuatan.

Tidak hanya terbatas pada individu yang missunderstanding saja, penyakit ini akan kian mengotori qalbu hingga keluarlah sesuatu yang sepantasnya tidak di ungkapkan apalagi dalam ruang publikasi hingga akan menimbulkan kesalahfahaman pula bagi mereka yang belum memiliki pengetahuan yang cukup....

Maka ingatlah" fas-alu ahladz dzikri in kuntum la ta'lamun (bertanyalah kepada yg tau/'ulama jika kamu tidak mengetahui)." Agar senantiasa kita bersabar untuk menahan diri dalam hal-hal yang belum kita ketahui tentangnya dan senantiasa bersabar dalam menuntun diri kita untuk terus tholabul ilmu..

Tetapi tidak semua berakibat buruk ,bila kebenaran adalah pangkal dari segala tujuan dan pencarian kita yang senantiasa di ikuti dengan sikap tawakkal dan tawadhu' serta doa yang selalu mengiringinya untuk mengharapkan ridha dan wajah ALLAH tabaraka wa ta'alaa...maka silahkan kepada ikhwah sekalian membaca tulisan berikut sebagai salah satu contoh realita kesalahpahaman yang di sajikan dalam dua bagian berikut semoga bermanfaat ..... barakallahu feekum



Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
Sunday, July 01, 2007


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.

"Whoever abandons something for the sake of Allaah, He will replace it for him with something better than it"

AUTHOR: 'Alee Hasan al-Halabee
SOURCE: Al-Asaalah Magazine (Issue 31, pg. 60-61)
PRODUCED BY: Al-Ibaanah.com

The teacher of our teachers,[1] the great scholar and historian, Shaikh Muhammad Raaghib At-Tabbaakh, rahimahullaah, mentioned the following story in his book “I’laam an-Nubalaa bi-Taareekh Halab ash-Shuhabaa” (7/231):

“Shaikh Ibraaheem Al-Hilaalee Al-Halabee – a pious and noble scholar – traveled to Al-Azhar University in search of knowledge. While seeking knowledge, he became very poor and used to rely on charity. One time, several days passed by and he did not find anything to eat, so he became extremely hungry.

So he came out of his room in Al-Azhar to ask for some scraps of food. He found an open door from which a pleasant smell of food was coming out of. So he entered the door and found himself in a kitchen with no one around. There he found some tempting food, so he grabbed a spoon and dipped it in, but when he lifted it to his mouth, he held himself back from eating it, since he realized that he had not been given permission to eat from it. So he left it and returned to his room in the dormitory of Al-Azhar, still hungry and starving.

But no less than an hour passed by, when one of his teachers, accompanied by another man, came into his room. And his teacher said to him: ‘This noble man came to me seeking a righteous student of knowledge to choose for marrying his daughter, and I have chosen you for him. So rise and come with us to his home where we can complete the marriage contract between you and his daughter and you can become part of his household.’ So Shaikh Ibraaheem struggled to get to his feet, obeying the command of his teacher and went with them. And behold they took him to the very same house he had been to, and which he had entered and dipped the spoon into the food!

So when he sat down, the girl’s father married her to him and the food was brought out. It was the same food he had put the spoon into before and which he abandoned. But now he ate from it and said to himself: ‘I withheld from eating it when I had no permission, but now Allaah has given me this food with permission.’

Afterward, this righteous wife went back with him to Halab, after he had finished his studies. And she bore righteous children for him.”

So this is the fruit of patience and this is the result of having taqwaa, as Allaah says: “And whoever has Taqwaa of Allaah, He will make a way out for him (from hardship), and He will provide for Him from places He never imagined.” [Surah At-Talaaq: 2-3]

But as for those who are hasty – those who do not distinguish between the truth and falsehood, seeking after the transitory vanities of this worldly life – they will never experience anything but grief and sorrow in their hearts, for they will never attain the worldly life nor will they ever achieve Religion.

This is because they forget – or perhaps neglect – the saying of Allaah: “Is not Allaah sufficient for His servant?” [Surah Az-Zumar: 36]

As for those who are patient and firm and who have Taqwaa, they will gain ascendancy in this life and glory and honor with their Lord on the Day of Judgement. And Allaah says: “So give the glad tidings to the patient ones.” [Surah Al-Baqarah: 155] And He says: “Verily, the patient ones will be given their reward without any reckoning.” [Surah Az-Zumar: 10]


Footnotes:

[1] Translator’s Note: He is referring to Imaam Al-Albaanee, who was a student of Shaikh Muhammad Raaghib At-Tabbaakh.


Published: June 11, 2004 | Modified: June 11, 2004



Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).


Bismillahi ar-Rahmaani ar-Raheem.


The Tafseer of Surah Al-Faatihah

AUTHOR: Shaikh 'Abdul-Muhsin bin Hamad Al-'Abbaad
SOURCE: Sharh Shuroot-is-Salaat (pg. 48-61, Dar-ul-Imam Ahmad)
PRODUCED BY: Al-Ibaanah.com

The author states: "The Third Pillar: Then there occurs the recitation of Surah Al-Faatihah, which is a pillar in every rak’ah (unit), as occurs in the hadeeth: 'There is no prayer for he who does not recite the opening (chapter) of the Book.' It is the foundation of the Qur’aan."

-- the explanation --

Reciting Surah Al-Faatihah in every one of the rak’aat (units) of prayer is obligatory upon the one leading the prayer (Imaam), the one being led in prayer (ma’moom) and the one praying alone (munfarid). This is based on the Prophet’s statement (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam): “There is no prayer for he who does not recite the opening (chapter) of the Book.” [Reported by Al-Bukhaaree (756) and Muslim (393)]

The one being led in prayer should recite it behind his Imaam in both the silent and audible prayers. What proves that it should be recited behind him in the audible prayers is the hadeeth in which a man from among the Prophet’s Companions reported that the Messenger of Allaah (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam) said: “Perhaps you recite behind the Imaam while the Imaam is reciting?” They replied: “Yes, we do that.” He (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam) said: “Then do not do it, unless one of you is reciting the beginning (chapter) of the Book.” Or he said: “The Faatihah (opening chapter) of the Book.” [Reported by Ahmad in his Musnad (18070) with an authentic chain of narration]

Something similar to this has been reported by ‘Ubaadah bin As-Saamit (radyAllaahu ‘anhu) and in its chain of narration is Muhammad bin Ishaaq who narrated hadeeth explicitly which made his tadlees safe. It was reported by Ahmad in al-Musnad (22745).

The way to combine between this report, the hadeeth that was reported about people refraining from reciting behind the Imaam, the hadeeth: “Whoever has an Imaam, then his recitation serves as a recitation for him”, and the hadeeth: “When he recites, then remain silent” is to understand all of these texts to refer to the recitation of any surah apart from Al-Faatihah.

Then the author, may Allaah have mercy on him, goes on to provide a brief interpretation of (Surah) Al-Faatihah, saying:

*****

Bismillaah-ir-Rahmaan-ir-Raheem (In the Name of Allaah, the Most Merciful, Bestower of Mercy) is a request for blessing and assistance.

-- the explanation --

What is meant by this is that a Muslim says Bismillaah seeking blessing from Allaah’s Name and seeking assistance in Allaah for his recitation. This applies also to anything for which he mentions Allaah’s Name prior to doing it. He is stating Allaah’s Name in order to seek blessing and assistance (by it).

He should recite the Bismillaah silently even though it is an ayah from the Qur’aan. Is it an ayah in every surah (chapter) or is it just an independent ayah used as a divider between surahs? And is it an ayah in Surah Al-Faatihah or is it not part of the surah at all? The scholars have many opinions on this. What indicates that it is part of the Qur’aan is that the Companions included it in the mus-haf and they didn’t include anything in there except for the Qur’aan. It is reported in the Sunan of Abu Dawood with an authentic chain (788) that Ibn ‘Abbaas said: “The Prophet (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam) was not aware of the separation of a surah until Bismillaah-ir-Rahmaan-ir-Raheem was revealed to him.”

There is no disagreement amongst the scholars over the fact that the Bismillaah is part of an ayah within Surah An-Naml.

Surah Al-Faatihah consists of seven verses. Those scholars that believe that it is an ayah in Surah Al-Faatihah count the Bismillaah as being one of the seven verses. Those who believe that it is not part of Al-Faatihah make the seventh verse: “Not of those who earned Your wrath nor of those who went astray.”

From the proofs that are used to indicate that the Bismillaah is not an ayah from Al-Faatihah is the Prophet’s (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam) statement in the qudsee hadeeth: “I have divided the Prayer between Myself and My servant into two halves, and My servant will have what he asks for. So when the servant says: ‘Al-Hamdulillaahi Rabbil-‘Aalameen’, Allaah says: ‘My servant has praised Me…’” [Reported by Muslim from Abu Hurairah (radyAllaahu ‘anhu) (395)]

So he (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam) did not mention the Bismillaah in it.

*****

Al-Hamdulillaah (All praise is for Allaah): Hamd means praise. The definite article (Al) before Hamd is for including all the commendable acts He does. As for the good things that one has no role in bringing about, such as beauty and so on, then praising that is called madah and not hamd.

-- the explanation --

The servants’ praising of their Lord is worship and it falls under Tawheed-ul-Uloohiyyah, which is the Oneness of Allaah in His servants actions (i.e. worship). Allaah is the One deserving of praise and commendation for every blessing that the servants achieve regardless if one of the servants played a part in it or not. This is since all of the credit in that matter belongs to Allaah, as He says: “And whatever blessings you have, it is from Allaah.” [Surah An-Nahl: 53]

In his advice to Ibn ‘Abbaas (radyAllaahu ‘anhu), the Prophet (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam) said: “And know that if the entire ummah were to gather together to bring you some benefit, they would not be able to benefit you except with something that Allaah has already decreed for you.”

So therefore all commendable acts in reality belong to Allaah. So He alone is the One who deserves praise in every circumstance. And as for the servants, whatever good things they do out of their own free will and choice, such as nobility, kindness and doing good deeds, then they should be praised and lauded for that. And whatever good that is in them, which they played no part in producing, such as beauty and good appearance, then they should be commended for it but not praised.

*****

Rabb-il-‘Aalameen (Lord of all that is created): Rabb means the One who is worshipped, the Creator, the Sustainer, the King, the One who administers and brings up all of the creation through His favors. With regard to Aalameen, everything that is apart from Allaah then that is considered Aalam. He is the Lord of everyone and everything.

-- the explanation --

This consists of Oneness of Allaah in His Lordship, Names and Attributes since Tawheed ar-Ruboobiyyah means the Oneness of Allaah in His Actions. So He is One in His creating, sustaining, giving of life, and causing of death. He has no partners in His Lordship nor does He have any partner in His Worship. To Allaah belong the most perfect of Names and Attributes. Two of Allaah’s names have been mentioned in this ayah: “All praise is for Allaah, Lord of all that is created.” They are Allaah and Ar-Rabb. In another ayah, Allaah says: “Salaam – a word from the Lord (Rabb), Most Merciful.” [Surah YaaSeen: 58]

*****

Ar-Rahmaan (The Most Merciful): means He grants a general mercy for all of the created beings. Ar-Raheem (The Bestower of Mercy): means He gives a specified mercy for just the believers. The proof for this is Allaah’s statement: “And He is ever an All-Bestower of mercy to the believers.” [Surah Al-Ahzaab: 43]

-- the explanation --

Ar-Rahmaan and Ar-Raheem are two of Allaah’s names that indicate one of His Attributes, which is mercy. All of Allaah’s names are derivatives that indicate meanings, which are attributes. So an attribute from among His many Attributes can be extracted from every one of Allaah’s Names.

The name Ar-Rahmaan is more general than Ar-Raheem and it cannot be applied to anyone except for Allaah. So it can’t be said to someone that he is Rahmaan. But as for Raheem, it can be applied to Allaah as well as others. Allaah said about His Prophet (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam): “Verily, there has come unto you a Messenger from amongst yourselves. It grieves him that you should receive any injury or difficulty. He is anxious over you. For the believers, he is full of pity, kind and merciful (raheem).” [Surah At-Tawbah: 128]

*****

Maaliki-Yawm-id-Deen (Master of the Day of Judgement): refers to the Day of Reward, Recompense and Accountability, the Day when everyone will be compensated for his deeds – if they are good, then there will be good (for him) and if they are evil, then there will be evil (for him). The proof for this is Allaah’s statement: “And what will make you know what the Day of Recompense is? Again, what will make you know what the Day of Recompense is? (It will be) The Day when no person shall have power (to do anything) for another, and the decision that Day will be wholly with Allaah.” [Surah Al-Infitaar: 17-19]

There is also the hadeeth of the Prophet (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam): “The shrewd person is the one who subjects himself and works for what comes after death. And the feeble person is the one who allows his soul to follow its vain desires, while aspiring for Allaah to grant his ambitions.”

-- the explanation --

Allaah is the Owner of everything. He is the Owner of the worldly life and the Hereafter. Allaah has only particularized the Day of Recompense here as Him being the Owner of it because it is the day in which all of the created beings will submit themselves to the Lord of all that exists. This is contrary to the worldly life for there can be found in it those who are insolent and haughty and who say such things as “I am your lord, most high” and “I didn’t know you had a god besides me!”

The hadeeth mentioned by the author was reported by At-Tirmidhee (2459) and its chain of narration contains Abu Bakr bin Abee Maryam who is weak.

*****

“Iyyaaka Na’budu” (You alone do we worship): meaning we don’t worship anyone except You. This is a covenant between the servant and his Lord that he will not worship anyone besides Him.

Wa Iyyaaka Nasta’een (And in You alone do we seek assistance): This is a covenant between the servant and his Lord that he will not seek the assistance of anyone besides Allaah.

-- the explanation --

Allaah says: “And I did not create the jinn and mankind except to worship Me.” [Surah Adh-Dhaariyaat: 56]

When you place the object of the verb (You alone) before the verb (we worship) in issues of worship and seeking assistance, this indicates a limitation and particularization. So you are limiting the worship to only Allaah and particularizing Him alone by it. So no one is worshipped except Allaah and no one’s assistance is sought except for Allaah’s.

Therefore, a servant (of Allaah) does not ask assistance from the angels or the jinn or anyone absent. But as for him asking assistance from a person that is present and who is able to assist him and help him achieve the benefit or repel the harm, this is permissible and not forbidden.

*****

Ihdinaas-Siraat-al-Mustaqeem (Guide us to the Straight Path) means direct us, show us the way and keep us firm on as-Siraat (the Path), meaning Islaam. It is also believed that it refers to the Messenger and likewise that it refers to the Qur’aan. All of these meanings are true. What is meant by Mustaqeem (Straight) is that which has no deviations in it.

-- the explanation --

The people’s need for being guided to the Straight Path is greater than all of their other needs. And their requirement of it is above any other requirement they may have. Their need for it is greater than their need for food and drink since food and drink are only means for them to continue remaining in this worldly life. But as for their being guided to the Straight Path, then it is a cause for their success and happiness in both this worldly life and the Hereafter.

Asking to be guided to the Straight Path consists of requesting Allaah to direct and show you to the path of truth and guidance. It also entails asking Him to grant you the ability follow this Straight Path. When a servant asks his Lord in every rak’ah (unit) of the prayer to guide him to the Straight Path, this entails asking Him to keep him firm upon whatever he achieves from guidance. It also entails asking for an increased and additional guidance, as Allaah says: “And as for those who are guided, He increases them in guidance and gives to them their Taqwaa (dutifulness).” [Surah Muhammad: 17]

There is no contradiction between interpreting “Guide us” to mean “show us, “direct us” or “keep us firm” nor with interpreting the “Straight Path” to mean “Islaam”, “the Messenger” or “the Qur’aan because that is only a difference of diversity and not a difference of contrast. This is why the author went on to say: “All of these meanings are true.” The interpretations of the Salaf are for the most part like this. Either their interpretation is by way of words that are close in meaning, which are all true and don’t contradict each other, as is the case here, or it is by way of example, which is done by interpreting a general word to mean some of the parts that fall under it, such as Allaah’s saying: “Our Lord! Give us in this world that which is good and in the Hereafter that which is good.” [Surah Al-Baqarah: 201]

There is no contradiction in interpreting the “good” of this world to mean a righteous wife or a righteous child or pure wealth. This falls under interpreting by way of example.

*****

Siraat-aladheena An’amta ‘alayhim (The Path of those You bestowed Your Favor on): meaning the way of those who have received your Bounty. The proof for this is Allaah’s saying: “And whoever obeys Allaah and the Messenger, then they will be in the company of those on whom Allaah has bestowed His Favor, such as the prophets, the first to believe (in the prophets), the martyrs and the righteous. And how excellent these companions are!” [Surah An-Nisaa: 69]

Ghayr-il-Maghdoobi ‘alayhim (Not those who earned Your Anger): They are the Jews since they have knowledge but do not act on it. You are asking Allaah to protect you from their way.

Wa laad-Daalleen {Nor of those who went astray): This refers to the Christians, who worship Allaah based on ignorance and misguidance. You are asking Allaah to protect you from their way. The proof for those who went astray is Allaah’s saying: “Say: Shall we inform you of the greatest losers with respect to their deeds? Those whose efforts have been wasted in this life, while they thought they were acquiring good by their deeds.” [Surah Al-Kahf: 103-105]

And there is also the hadeeth of the Prophet (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam): “You will indeed follow the ways of those who came before you, in exactly the same manner, to the point that if they were to enter the hole of a lizard, you would also enter it.” They said: “O Messenger of Allaah, do you mean the Jews and the Christians?” He said: “Who else?” Al-Bukhaaree and Muslim reported it.

And the second hadeeth is: “The Jews split up into seventy-one sects and the Christians split up into seventy-two sects. And this ummah (of Muslims) will split up into seventy-three sects. All of them will be in the Hellfire except for one.” They said: “Who are they O Messenger of Allaah?” He said: “Those who are upon the same way that I and my Companions are upon.”

-- the explanation --

The Straight Path that a Muslim asks his Lord to guide him to is the path of those whom Allaah bestowed His Grace upon, such as the prophets, the siddeeqoon (first true believers), the martyrs and the righteous people, as Allaah says: “And verily, this is my Straight Path, so follow it. And do not follow the other paths, for they will separate you away from His path. This He has ordained for you so that you may become dutiful (Muttaqoon).” [Surah Al-An’aam: 153]

He asks Allaah in every one of the rak’aat (units) of his prayer to direct him to the path of truth and guidance and to protect him from the path of those who are astray and in error, such as the Jews and Christians.

The hadeeth: “You will indeed follow the ways of those who came before you…” was reported by Al-Bukhaaree (7320) and Muslim (2669) from Abu Sa’eed. Its first part is found in Saheeh Al-Bukhaaree with the wording: “You will indeed follow the ways of those who came before you hand-span by hand-span and forearm by forearm…” and in Saheeh Muslim with the wording: “You will indeed follow the ways of those who came before you inch by inch and cubit by cubit.”

The hadeeth about the splitting of the ummah has been reported by a group of the Prophet’s Companions. For the referencing of this hadeeth, see the comments to hadeeth no. 16937 in the Musnad of Imaam Ahmad. Also see Silsilat-ul-Ahaadeeth as-Saheehah of Al-Albaanee (203-204) who quoted its authenticity on Ibn Taimiyyah, Ash-Shaatibee and Al-‘Iraaqee.

What is meant by the word “ummah” in this hadeeth is the ummah (nation of people) that have responded to the Call. These seventy-three sects are Muslims. The “Saved Sect” are those who are upon what the Prophet and his Companions were upon. Seventy-two of the sects are under the threat of being placed in the Hellfire due to their deviating from the path of truth. Their affair is up to Allaah – if He wishes, He will punish them and if He wishes, He will pardon them.

As for the ummah (nation of people) that requires the Call, they consist of every human being and Jinn from the time of the Prophet’s advent to the establishment of the Hour. Those who fall in this category are the Jews, the Christians and all of the other religions of disbelief. This is based on the Prophet’s (sallAllaahu ‘alayhi wa sallam) statement: “By the One in whose Hand is the soul of Muhammad, no one from this ummah (nation of people) hears about me, whether he is a Jew or a Christian, then dies without believing in what I was sent with, except that he will be from the inhabitants of the Hellfire.” [Reported by Muslim (386) from Abu Hurairah; Also see the Fataawaa of Shaikh-ul-Islaam (7/218) and Fataawaa al-Lajnat-ud-Daa’imah (2/157)]

*****

Published on: June 11, 2007



Perkataan 4 Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Sunnah Oleh : Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3) I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. "Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku". 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari". 5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50) II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1) 7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182). Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah." (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).
ARCHIVES


LINKS